Senyummu kepada Saudaramu adalah Shodaqoh

Berusahalah agar selalu tersenyum, dan berusahalah agar saudaramupun ikut tersenyum dan berbinar

Pengalaman ialah guru terbaik dalam kehidupan

Belajar, belajar, belajar dan teruslah belajar...

Berilmu dulu, kemudian Berbicara

Dan Sampaikanlah meski hanya Satu Ayat.

All Starts Are Difficult

But Let us go to begin

Hindarilah amal yang tak bermanfaat

Ucapanmu, kepribadianmu

Minggu, 26 Oktober 2014

It's Sunnah


A. Pengertian Sunnah

Sunnah berasal dari bahas arab yang secara etimologi, lafadz/kata sunnah berarti “jalan/perjalanan” atau ”jalan kehidupan yang baik “ atau ”jalan kehidupan yang buruk”. Pengertian sunnah secara etimologis, dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, sebagai berikut:
“Barangsiapa yang merintis Sunnah (perjalanan/cara) di dalam Islam suatu perjalanan/cara yang baik(sunnah hasanah), maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang turut serta mengerjakannya setelah dia tanpa dikurangi dari pahala mereka yang mengerjakan. Dan barang siapa yang merintis sunnah dalam Islam suatu sunnah (cara/jalan) yang buruk (sunnah sayyiah), maka akan menerima dosanya dan dosa orang-orang yang turut melakukan setelah dirinya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.”[1].
Secara terminologis (dalam istilah syari’ah) pengertian sunnah sebagai segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau di anjurkan oleh Nabi Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, baik berbentuk perkataan, perbuatan, dan persetujuan. Akan tetapi pengertian sunnah menjadi beragam di kalangan para pengkaji syari’at, sesuai dengan spesialisasi dan tujuan masing-masing.

B. Nabi Muhammad Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam Sebagai Sumber Sunnah
Sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, baik ucapan, perbuatan maupun persetujuan beliau Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam[2], memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Ta’ala sendiri yang memuji semua perbuatan dan tingkah laku Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, dalam firman-Nya,
 “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung” (QS al-Qalam:4).
Ayat yang mulia ini ditafsirkan langsung oleh istri Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, ummul mu’minin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ketika beliau ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an[3].
Ini berarti bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya[4].
Demikian pula dalam firman-Nya Ta’ala,
 “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala[5].
Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam [6].
Kemudian firman Allah Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam [7].
Karena agung dan mulianya kedudukan sunnah inilah, sehingga Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam memberikan anjuran khusus bagi orang yang selalu berusaha mengamalkan sunnah beliau Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Beliau Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam bersabda,
Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun[8].
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena itu, Imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibn Majah” pada bab: (keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam yang telah ditinggalkan (manusia)[9].
Bahkan para ulama menjelaskan bahwa orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.
Syaikh Muhammad bih Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia”[10].

C. Kedudukan dan Fungsi Sunnah
1.    Kedudukan Sunnah
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa sunnah adalah merupakan salah satu sumber ajaran islam. Ia menempati kedudukannya setelah Al-Qur’an. Keharusan mengikuti sunnah  bagi umat islam baik yang berupa perintah atau larangan sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan sunnah adalah Mubayyin (pemberi penjelasan)  terhadap Al-Qur’an, oleh karena itu siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai   sunnah. Begitu pula dalam memahami atau menggunakan sunnah tanpa Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang di dalamnya berisi garis besar syari’at. Dengan demikian antara Al-Qur’an dan Sunnah memiliki kaitan yang sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
a.      Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-qur’an yang menerangkan tentang kewajiban untuk tetap teguh beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam sebagai utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan setiap individu. Dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan mereka. Dalam surat Ali Imran ayat 17 diterangkan :
“(yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur” (QS. Ali Imran : 17).
Dalam ayat lain diterangkan pula :
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun” (Qs. An-nisa: 136).
Selain Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, juga menyerukan agar mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti dijelaskan dalam surat Ali Imron Ayat 32, yaitu :
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali Imron : 32).
Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman : 
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa : 59).
Dalam surat Al-Hasyr ayat 7 Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
“..Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya” (QS. Al-Hasyr : 7).
Masih banyak ayat lain yang menjelaskan tentang perintah untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, seperti surat Al-Maidah ayat 92 dan An-Nur ayat 54.
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan dan ditarik suatu pemahaman bahwa ketaatan kepada Rasulullah adalah mutlak sebagaimana ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Begitupula dengan ancaman dan peringatan bagi yang durhaka. Ancaman Allah sering disejajarkan dengan ancaman karena durhakan kepada Rasul-Nya.
Disamping ayat-ayat yang menjelaskan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan untuk mentaati Rasul secara Khusus dan terpisah, karena pada dasarnya ketaatan kepada Rasul berarti adalah ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti yang disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 80, bahwa manifestasi  dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan mentaati Rasul-Nya.
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (QS. An-Nisa’ : 80).
Dalam surat Ali Imron ayat 31 juga ditegaskan bahwa konsekuensi logis dari kecintaan manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan mentaati rasul-Nya.
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imron : 31).
Ungkapan-ungkapan pada beberapa ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam yang dimanifestasikan dalam bentuk aqwal, af’al, dan taqrir Rasul Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam.
b.      Dalil Hadits Rasul SAW
Kedudukan sunnah sebagai sumber ajaran agama islam, selain dapat dilihat dan dikaji berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an, juga dapat dilihat dan dikaji dengan hadits atau sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam itu sendiri. Banyak hadits yang menggambarkan hal ini dan menunjukkan perlunya ketaatan pada perintahnya (Rasul). Dalam satu pesan Rasul Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits atau sunnah rasul sebagai pedoman hidup di samping Qur’an. Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam bersabda sebagai berikut (yang artinya) :
“Aku tinggalkan dua pusaka kepada kalian. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, ciscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya”.[11]
Dalam hadits lain disebutkan bahwa (yang artinya) :
“Kalian wajib berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapat petunjuk berpegang teguh lah kamu sekalian dengannya”.[12]
Dalam salah satu taqrirnya Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam juga memberikan petunjuk kepada umat islam, bahwa dalam menghadapi berbagai persoalan hukum dan kemasyarakatan, kedua sumber ajaran yakni Al-Qur’an dan Hadits/ Sunah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam merupakan sumber asasi. Ini terlihat dalam dialog yang terjadi pada Rasul dan Muadz bin Jabal menjelang keberangkatannya ke Yaman. Rasul dalam hal ini bertanya kepada Muadz dan membenarkan semua jawabannya.
Dari beberapa pernyataan di atas juga dapat ditarik pemahaman bahwa Hadits/ sunnah tetap memiliki peranan yang penting sebagai sumber hukum agama islam setelah Al-Qur’an yang ditinjau berdasarkan sunnah/ hadits  Rasul itu sendiri.
c.       Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat islam dan para ulama telah sepakat bahwa hadits/ sunnah adalah sebagai salah satu dasar hukum dalam beramal. Penerimaan mereka terhadap hadits/ sunnah sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an sebagai sumber dalam beramal. Namun ada beberapa kalangan dari umat islam yang menentang bahwasannya hadits/ sunnah adalah sebagai salah satu sumber dalam beramal. Kalangan tersebut adalah orang-orang yang menyimpang dan para pembuat kobohongan.
Kesepakatan umat islam dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits berlaku sepanjang zaman, sejak Rasulullah masih hidup dan sepeninggalnya, masa Khulafa Ar-Rasyidin, Tabi’in, Tabi’ut tabi’in, Atba’u tabi’in, serta masa-masa selanjutnya, dan tidak ada yang mengingkarinya sampai sekarang[13]. Kebanyakan dari mereka tidak hanya mengamalkan isi kandungan hadits/ sunnah, tetapi mereka juga menghafalnya, mentadwin, dan menyebarluaskan dengan segala upaya kepada generasi-genarasi selanjutnya. Dengan ini diharapkan bahwa tidak akan ada satu hadits pun yang tercecer dari pemeliharaannya, begitupula tidak akan ada satu hadits palsu pun yang mengotorinya.
Banyak kisah diantara para sahabat yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits/ sunnah rasul sebagai sumber hukum islam, antara lain dikisahkan pada kisah di bawah ini.
Pertama, ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu  yang diamalkan atau dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”[14].
Kedua, pernah dinyatakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus Nabi Muhammad Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam berbuat”[15].
Sikap para sahabat tersebut, seutuhnya diwarisi oleh generasi selanjutnya secara berkesinambungan. Segala apa yang diterima dan diperoleh dari generasi sebelum-Nya, kemudia diwariskan seutuhnya kepada generasi berikutnya baik semangat, sikap, maupun aktifitas mereka terhadap hadits/ sunnah Rasul Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam[16]. Dibawah ini adalah kisah para tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam menyampaikan pesan dan saran-sarannya kepada umat dan murid yang dibinannya.
Pertama, Al-A ‘masy berkata “Kalian harus mengikuti as-sunnah dan mengajarkannya kepada anak-anak. Hal ini karena, pada saatnya nanti merekalah yang akan memelihara agama untuk kepentingan manusia”.
Kedua, Abu Hanifah berkata “Jauhilah pendapat ra’yu tentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ala,  kalian harus berpegang kepada as-sunnah. Barangsiapa yang menyimpang daripadanya, niscaya dia akan sesat”.
Kisah diatas merupakan kisah yang menunjukkan sikap dan pandangan para ulama tentang hadits/ sunnah, yang menggambarkan betapa perhatian dan pandangan mereka yang sangat tinggi terhadap hadits/ sunnah sebagai sumber ajaran agama islam.

2.    Fungsi Sunnah dalam tasyri
Ada empat fungsi Sunnah dalam tasyri' (ajaran Islam) yakni sebagai berikut :
1.      Hujjah atau dalil agama Islam yaitu sebagai argumentasi yang bersifat aqliyah di samping Al-Qur’an.
2.      Bayan yaitu yang menjelaskan kandunggan Al-Qur’an yang masih global dan umum yang belum rinci.
3.      Taqyid, yaitu yang memperkuat sesuatu yang telah di tetapkan dalam Al-qur’an.
4.      Manhaj, yaitu pedoman Amaliyah bagi seluruh kaum muslimin.
Empat fungsi ini yang jarang diperhatikan bagi umumnya kaum muslimin terlebih aturan main dalam menggunakan ke-empat fungsi tersebut. Untuk bisa mengamalkan 4 fungsi hadits diatas, seseorang mesti mengetahui dan memahami konsepsi dasar yang berkenaan dengan hadits sekurang-kurangnya berikut ini :
1.      Mengetahui maksud hadits dalam tataran praktis 
2.      Mengetahui perbedaan hadits dengan al-Qur'an
3.      Ragam dan istilah yang berkenaan dengan hadits (musthalahul hadits)
4.      Kualifikasi hadits
5.      Pengamalan hadits
6.      Problematika hadits


D. Kodifikasi sunnah
Kodifikasi atau tadwin artinya ialah pencatatan, penulisan atau pembukuan hadits. Secara individual perncatatan hadits telah dilakukan sejak masa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam. Namun dalam pembahasan kali ini, yang dimaksud dengan kodifikasi adalah penulisan secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa anggota yang ahli dalam bidang ini[17]. Bukan yang dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi.
Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan islam ketika dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Azis (Khalifah ke-8 dari kekhalifahan bani Umayyah). Melalui instruksinya kepada Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazn (Gubernur Madinah) dan para ulama madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan Hadits dari para penghafalnya.
Khalifah mengisnstruksikan kepada Abu Bakar Ibn Muhammad bin Hazm (177 H) agar mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Asy’ari (98 H, murid kepercayaan Siti ‘Aisyah) dan al-Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr (107 H). Instruksi yang sama ditunjukkan kepada Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (124 H) yang dinilainya orang yang lebih banyak mengetahui hadits dibandingkan orang yang lainnya. Peranan para ulama dalam mengumpulkan hadits sangat mendapatkan penghargaan dari seluruh umat islam khususnya Az-Zuhri. Mengingat pentingnya peranannya, ulama di masanya memberikan komentar bahwa jika tidak ada dia, diantara hadits-hadits pasti sudah banyak yang hilang. Namun sayangnnya karya kedua tabi’in ini lenyap tidak sempat diwariskan kepada generasi sekarang.
1. Latar Belakang Pemikiran Munculnya Usaha Kodifikasi Hadits/ Sunnah
Ada tiga hal pokok yang mendasari Khalifah Umar bin Abdul Azis mengambil kebijakan ini, yaitu :
a)      Ia khawatir hilangnya hadits-hadits dengan meninggalnya para ulama di medan perang, hal ini merupakan faktor yang paling utama mengingat bahwa ulama pada saat itu bukan hanya sebagi pengajar ilmu agama, namun juga turut mengambil bagian bahkan mengambil bagian penting dalam peperangan.
b)      Ia khawatir akan tercampurnya antara hadits-hadits yang shahih dengan hadits-hadits yang palsu.
c)      Bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabi’in antara yang satu dengan yang lainnya tidak sama jelas memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.
Dengan melihat berbagai permasalahan yang muncul, sebagai akibat terjadinya pergolakan politik yang sudah cukup lama, dan mendesakanya kebutuhan untuk mengambil keputusan ini guna menyelamatkan hadits-hadits dari pemusnahan dan pemalsuan. Umar bin Abdul Azis merupakan pelopor dalam penulisan-penulisan hadits. Karena, ada beberapa riwayat yang mengatakan bahwa dia pun ikut andil dalam penulisan hadits ini. Bahkan ia memiliki tulisan hadits-hadits yang ia terima.
2.      Pembukuan Hadits/ Sunnah Pada Kalangan Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in Setelah Ibn   Syihab az-Zuhri
Diantara para ulama setelah az-Zuhri, ada ulama ahli hadits yang berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas (93 – 179 H) di Madinah, dengan kitab hasil karyanya yang dinami Al-Muwaththo. Kitab tersebut selesai disusun pada tahun 143 H dan para ulama menilainya sebagi kitab tadwin yang pertama.
Dari kenyataan yang terjadi bahwa terdapat garis perbedaan antara karya-karya ulama sebelum Az-Zuhri dengan karya-karya ulama setelahnya. Karya ulama setelah Az-Zuhri yang tidak terlepas dari campur tangan Az-Zuhri sendiri dapat mewariskan karyanya tetap terpelihara sampai sekarang. Sedangkan karya-karya ulama sebelumnya hanya sampai di tangn murid-muridnya dan tidak dapat diwariskan ke generasi yang lebih jauh.

E. Pendekatan Memahami Sunnah
Di antara kaidah-kaidah penting yang sepantasnya dipelajari oleh seorang muslim agar pemahaman dan pengambilannya (untuk diamalkan) terhadap Sunnah Rasulullah SAW dapat benar, adalah sebagai berikut:

1. Memahami Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur’an
As-Sunnah menerangkan dan merinci apa yang ada dalam Al-Qur’an. Tidak ada pertentangan antara As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Jika terdapat pertentangan, hal itu mungkin terjadi karena haditsnya tidak shahih atau kita sendiri yang tidak bisa memahaminya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan, “Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisaa’: 82).
Contoh yang paling jelas bahwa sunnah yang shahih tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, justru yang bertentangan dengan Al-Qur’an adalah hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu (palsu), yaitu kisah gharaniq (sembahan atau tuhan-tuhan) kaum musyrikin.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Maka apakah patut (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-’Uzza dan Manat yang ketiga…” (An-Najm: 19-20). “Mereka itu adalah gharaniq yang tinggi dan sungguh syafaatnya (pertolongannya) sangat diharapkan.”
Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka sifatkan dengan ketinggian-Nya yang agung. Kisah yang bathil ini mustahil akan benar karena bertentangan dengan ayat itu sendiri (yang disebutkan). Apakah masuk akal, jika Imam Tauhid dan pembawa bendera agama yang lurus setelah Ibrahim ‘alaihissalam (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) memuji tuhan-tuhan orang-orang musyrik? Maka, jelas hadits ini bathil sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullah dimana beliau berkata: “Ini (termasuk hadits) yang dipalsukan oleh orang-orang zindiq.” (Nashbul Majaaniiq, hlm. 25).

2. Mengumpulkan Hadits-Hadits yang Satu Tema dan Pembahasan pada Satu Tempat
Imam Ahmad berkata, “Suatu hadits, kalau tidak engkau kumpulkan jalan-jalannya (sanad-sanadnya), engkau tidak akan paham karena sebagian hadits menafsirkan sebagian yang lainnya.” (Al-Jaami’ (I/270).
Merupakan suatu keharusan untuk memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu mengumpulkan hadits-hadits shahih yang satu pembahasan supaya hadits yang mutasyabih (yang memiliki banyak penafsiran) bisa dikembalikan ke yang muhkam (maknanya jelas), yang muthlaq (tidak terikat) di bawa ke yang muqayyad (terikat), dan yang ‘amm (maknanya umum) ditafsirkan oleh yang khashsh (maknanya khusus). Dengan cara ini, akan jelas maksud hadits tersebut, maka jangan mempertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lainnya.
Apabila sanad-sanad suatu hadits yang satu pembahasan tidak dikumpulkan pada suatu tempat, maka itu bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memahami hadits tersebut. Padahal, orang itu berdalil dengan hadits shahih, akan tetapi dia tidak mengumpulkan hadits yang semisal dengannya sehingga menyebabkan pemahamannya terhadap hadits tersebut tidak sempurna. Bahkan, pemahaman dan gambarannya menyimpang tentang masalah yang dia bahas itu.
Contoh: Hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu ketika melihat alat pertanian, beliau berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah (alat) ini masuk ke rumah suatu kaum, kecuali Allah akan memasukkan padanya kehinaan’.” (HR. Bukhari, Fathul Baari, V/4)).
Zhahir (lahiriah) hadits ini memberikan faedah tentang bencinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pertanian, padahal kalau seseorang mengumpulkan hadits-hadits yang lain tentang pertanian, maka dia akan mendapatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru menganjurkan untuk bertani dan menerangkan tentang bolehnya bertani, seperti sabda beliau berikut:
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu burung memakan dari tanaman itu, atau binatang ternak, melainkan yang demikian itu sebagai sedekah (bagi yang menanam).” (HR. Bukhari, Fathul Baari X/438 dan Muslim, VII/4241).
“Jika kiamat telah mendatangi salah seorang di antara kalian dan di tangannya (masih) ada bibit kurma, maka hendaklah dia menanamnya.” (HR Ahmad, III/183, 184).
Dari tiga hadits yang telah disebutkan ini ada satu hadits yang seolah-olah bertentangan, yaitu hadits yang disebutkan pertama. Lalu, bagaimanakah cara para ulama menyatukan antara hadits-hadits yang tampaknya bertentangan ini? Bagaimana pula pemahaman yang benar setelah menyatukan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini (bertani)?
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Dan Imam Bukhari telah memberikan isyarat dengan cara menjama’ (menyatukan) antara hadits Abu Umamah dan hadits sebelumnya tentang keutamaan bertani dan bercocok tanam, dan itu (dijama’) dengan salah satu dari dua cara, yaitu dengan membawa apa yang bermakna celaan kepada akibat (buruk) dari pertanian, atau dibawa kepada pemahaman jika bertani tidak melalaikannya, akan tetapi dia melampaui batas dalam bertani…” (Fathul Baari, V/5)
Ada hadits yang mendukung pemahaman bahwa maksud larangan tersebut ditujukan apabila seseorang disibukkan dengan bertani dari kewajiban-kewajiban, seperti jihad di jalan Allah, apalagi bagi yang dekat tempatnya dengan musuh-musuh Allah. Hadits tersebut adalah hadits marfu’ dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu: “Jika kalian berjual-beli dengan (cara) ‘inah (salah satu bentuk riba), kalian dilalaikan oleh ternak kalian, dan kalian suka (disibukkan) dengan bertani sehingga kalian meninggalkan (kewajiban) jihad, niscaya Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan yang Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (Hadits shahih riwayat Ahmad, XXII/84 dan Abu Dawud, II/246. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani, I/15 no. 11).

3. Menyatukan Hadits-Hadits yang Tampak Bertentangan
Pada dasarnya tidak ada pertentangan antara nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Seandainya terjadi suatu pertentangan, maka itu anggapan kita semata, bukan hakikat dari nash-nash tersebut. Inilah keyakinan seorang mukmin pada hadits-hadits yang dapat dipercaya (hadits-hadits yang shahih atau hasan).
Firman Allah berikut harus selalu menjadi pedoman: “Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisaa’: 82).
Contoh hadits-hadits yang tampaknya bertentangan adalah hadits-hadits yang melarang seseorang menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kecil, sementara ada hadits-hadits lain yang membolehkan hal tersebut. Cara jama’ yang dipakai para ulama untuk menyatukan hadits-hadits yang tampak bertentangan tersebut adalah dengan menyatakan bahwa hadits-hadits larangan dimaksudkan bila dilakukan di tempat terbuka, sedangkan hadits-hadits yang membolehkan dimaksudkan bila dilakukan di dalam suatu tempat yang ada pembatasnya (seperti seseorang melakukannya di WC). (Ta-wiil Mukhtalafil Hadiits hlm. 90 dan Nailul Authaar, I/98).
Kitab yang paling bermanfaat (dan bagus) yang bisa dijadikan rujukan untuk mendapatkan mukhtalaful hadits (hadits yang tampaknya bertentangan dengan hadits yang lain tetapi memungkinkan untuk dijamak/disatukan) adalah Musykilul Aatsaar karya Ath-Thahawi dan Ta’wiil Mukhtalaf al-Hadiits karya Ibnu Qutaibah.

4. Mengetahui Nasikh dan Mansukh Suatu Hadits
(Nasikh = Hadits yang Menghapus Hadits yang Lain; Mansukh = Hadits yang Dihapus)
Nasikh (hukum yang lama diganti hukum yang baru) dalam hadits memang terjadi. Seorang muslim yang mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kalau hadits itu mansukh, berarti dia telah terjatuh ke dalam ilmu yang tidak diperintahkan syara’ untuk mengamalkannya. Sebab, kita tidak diperintahkan untuk mengamalkan hadits-hadits yang mansukh. Sementara nasikh adalah suatu ‘illat (penyebab) dilarangnya beramal dengan satu hadits (yang mansukh, ed.).
Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah berkata, ” Dan nasikh telah dimasukkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kategori al-’ilal (cacat hadits). Namun, beliau hanya mengkhususkannya dalam masalah pengalamannya saja (bukan status haditsnya).” (Al-Alfiyah, hlm. 22).
Seseorang tidak boleh tergesa-gesa dalam masalah ini sehingga mengatakan hadits ini mansukh, kecuali setelah mengetahui dalil-dalil dan qara-in (tanda-tanda) yang menunjukkan adanya nasikh.
Kitab-kitab yang bisa membantu untuk mengetahui yang mansukh dari hadits-hadits adalah:
- Ittihaaf Dzawiir Rusuukh karya Al-Ju’buri.
- An-Naasikh wal-Mansuukh karya Ibnul Jauzi.
- Al-I’tibaar fin Naasikh wal-Mansuukh minal Akbaar karya Al-Hazimi.

5. Mengetahui Asbabul Wuruud Hadits
Asbabul Wuruud = Sebab-Sebab Diriwayatkanya/Datangnya Suatu Hadits. Mengetahui asbabul wurud suatu hadits sangat membantu dalam memahami maksud hadits. Termasuk cara yang baik dalam memahami sunnah Nabi adalah meneliti (melihat) sebab-sebab tertentu disabdakannya suatu hadits, atau kaitannya dengan ‘illat (alasan atau sebab) tertentu yang ditegaskan langsung dari nash (teks) hadits itu, atau dari istinbath/kesimpulan (maknanya), atau yang dipahami (langsung) dari kondisi ketika hadits tersebut diucapkan (oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Untuk memahami suatu hadits dengan pemahaman yang benar dan mendalam, tidak boleh tidak, kita harus mengetahui situasi dan kondisi yang menyebabkan hadits itu diucapkan oleh Nabi. Biasanya, hadits datang sebagai penjelas terhadap kejadian-kejadian tertentu dan sebagai terapi terhadap situasi dan kondisi kejadian tersebut. Dengan begitu, maksud dari hadits itu dapat ditentukan dengan jelas dan rinci. Tujuannya tidak lain agar hadits itu tidak menjadi sasaran bagi dangkalnya perkiraan, atau kita mengikuti zhahir (lahiriah dari hadits tersebut) yang tidak dimaksudkan (oleh maknanya). (Kaifa Nata’aamal ma’as-Sunnah [hlm. 125]).
Contoh:
Hadits: “Barang siapa melakukan sunnah yang baik dalam agama Islam ….” (HR Muslim).
Sebagian orang memahami hadits ini dengan pemahaman yang salah. Sehingga, mereka membuat bid’ah-bid’ah (amal yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya) dalam agama dengan beranggapan bahwa mereka sedang mendekatkan diri kepada Allah dan beramal dengan sunnah yang baik, yang masuk dalam kandungan makna hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Akan tetapi, kalau kita merujuk kepada sebab disabdakannya hadits ini, akan kita dapatkan sebabnya, yaitu bahwa Nabi pada suatu hari menyuruh para sahabat untuk bersedekah. Kemudian, datanglah seorang pria dengan membawa bungkusan besar yang kedua tangannya hampir tidak mampu untuk membawanya, lalu ia meletakkannya di tengah masjid. Setelah itu, orang-orang pun ikut berinfaq sampai muka Rasulullah saw berseri-seri (karena senang), seakan-akan wajah beliau seperti sesuatu yang disepuh dengan emas, lalu beliau mengucapkan hadits tersebut.
Maka dari itu, mengartikan hadits tersebut kepada perbuatan bid’ah jelas-jelas secara meyakinkan bukan yang dimaksud. Bahkan, itu merupakan kesesatan yang nyata. Dan, sebab-sebab disabdakannya hadits tersebut menjadi bukti terkuat akan kesalahan cara pengambilan dalil yang ditempuh oleh mereka.
Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi mempunyai kitab berjudul Al-Bayaan wa at-Ta’riif fii Ashaab Wuruud al-Hadiits asy-Syariif yang dicetak dalam tiga jilid. Kitab itu termasuk yang paling lengkap dalam bidang ilmu ini (asbaabul wuruud hadits).

6. Mengetahui Ghariibul Hadiits
(Ghariibul Hadiits = Kata-Kata yang Sulit Dipahami pada Teks Hadits)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan “dhaadd” bahasa Arab dan beliau berbicara kepada para sahabat dengan bahasa Arab yang jelas dan dikenal oleh mereka. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam memahami apa yang diinginkan dari lafazh yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mereka adalah orang Arab asli, yang tidak pernah dimasuki (dipengaruhi) oleh bahasa orang ‘Ajam (orang non-Arab).
Tetapi, dengan berlalunya waktu dan berbaurnya sebagian orang dengan yang lain, baik yang Arab maupun yang ‘Ajam, bahasa yang dipakai sebagian besar orang Arab menjadi lemah. Selain itu, bahasa mereka bercampur dengan bahasa orang ‘Ajam, serta mereka menjadi semakin jauh dari bahasa Arab yang fasih. Sehingga, banyak orang yang menemukan kesulitan dalam memahami hadits-hadits Nabi karena mereka tidak mengetahui arti kata-kata dalam hadits-hadits tersebut.
Oleh sebab itulah, para ulama bangkit menyusun karangan semacam ini, yaitu kitab-kitab ghaariibul hadiits. Mereka menyusun sebuah kitab untuk menerangkan kata-kata yang sulit dipahami dalam suatu hadits beserta penjelasannya. Jika seorang ulama, penuntut ilmu, dan seorang muslim secara umum ingin memahami hadits yang baik, hendaklah dia merujuk kepada kitab-kitab ghariibul hadiits, yang paling penting di antaranya adalah:
- Ghariibul Hadiits karya Al-Harawi.
- Ghariibul Hadiits karya Abu Ishaq al-Harbi.
- Ghariib ash-Shahiihain karya Al-Humaidi.
- An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits karya Ibnul Atsir.
Kitab yang terakhir (An-Nihaayah) adalah kitab terlengkap dan paling bermanfaat daripada kitab-kitab ghariib lainnya.

7. Memahami Sunnah seperti yang Dipahami Sahabat Rasulullah SAW
Kaidah ini termasuk yang paling penting supaya seorang muslim berpegang dengan sunnah, seperti berpegangnya salafush shaleh, serta agar selamat dari penambahan dan pengurangan.
Maka, yang paling utama dalam menerangkan As-Sunnah adalah hadits-hadits Nabi sendiri, kemudian perkataan dan perbuatan para sahabat (al-aatsaar as-salafiyah), karena para sahabat telah menyaksikan turunnya Al-Qur’an dan wahyu turun di hadapan mereka. Maka, jika terjadi pemahaman yang salah dari salah seorang mereka terhadap Sunnah Nabi, niscaya Jibril akan turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meluruskan dan mengoreksi pemahaman yang salah itu.
Oleh karena itu, para ulama hadits menggolongkan perkataan seorang sahabat: “Kami berpendapat begini pada zaman Rasulullah,” sebagai perkataan yang memiliki hukum marfu’ (yang bisa disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Apabila orang-orang berselisih tentang pemahaman suatu hadits, maka pemahaman yang paling utama didahulukan adalah pemahaman sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh:
Hadits tentang menghadap ke kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar atau kecil. Ada atsar (perkataan sahabat) dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Sesungguhnya yang demikian itu (buang hajat) terlarang jika di tempat yang terbuka, namun jika di antara kamu dan kiblat ada sesuatu yang menutupi (menghalangi), maka tidak mengapa (hukumnya boleh).” (HR Abu Dawud, Kitab Ath-Thaharah Bab “Karaahiyah Istiqbaali Qiblati ‘inda Qadhaa-il Haajah” [I/3]).
Kitab-kitab yang penyusunnya banyak menukil atsar-atsar salafiyyah (orang-orang shalih terdahulu) dari sahabat dan tabi’in adalah:
- Mushannaf ‘Abdirrazzaq.
- Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
- Sunan Sa’id bin Manshur.
- Sunan ad-Darimi.
- As-Sunan al-Kubraa dan As-Sughaa karya Imam Al-Baihaqi.

8. Merujuk Kitab-Kitab Syarah Hadits
Yaitu kitab-kitab yang berisi penjelasan dan keterangan dari matan (teks hadits). Termasuk hal-hal yang penting dalam memahami hadits-hadits Nabi adalah merujuk kitab-kitab syarah. Sebab, di dalamnya terdapat penjelasan tentang gharib, nasikh-mansukh, fiqhul hadits, dan riwayat-riwayat yang tampaknya bertentangan sehingga seseorang tidak mungkin meninggalkan kitab-kitab seperti ini.
Para ulama hadits telah meninggalkan kitab-kitab syarah untuk kita yang menjelaskan hadits-hadits Nabi saw. Para ulama adalah penerjemah hadits-hadits Nabi untuk seluruh umat. Setiap seorang ulama yang lebih dahulu (lebih dekat masa hidupnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka penjelasannya akan lebih dekat kepada kebenaran dan lebih layak untuk diterima, biasanya.
Kitab syarah yang paling utama didahulukan setelah memperhatikan yang lebih dahulu zaman penyusunnya adalah kitab yang penyusunnya memiliki perhatian terhadap dalil-dalil dengan menerangkan makhaarijul ahaadiits (jalan periwayatan hadits) yang bermacam-macam, serta menerangkan shahih dan dha’ifnya dalil tersebut.
Demikian pula harus didahulukan kitab yang penyusunnya paling jauh dari fanatik madzhab, yangmana suatu hadits bisa saja dipalingkan olehnya dari makna yang sesungguhnya yang diinginkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa disertai dalil yang rajih (kuat).
Di antara contoh kitab syarah hadits yang sesuai dengan pemahaman para sahabat dan mu’tamad (yang bisa dipertanggungjawabkan) yaitu sebagai berikut.
- Syarhus Sunnah karya Imam Al-Baghawi.
- Fathul Baari karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
- Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani.



[1] HR. Muslim
[2] Lihat kitab “Taujiihun nazhar ila ushuulil atsar” (1/40)
[3] HR Muslim (no. 746).
[4] Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh shahih Muslim” (6/26).
[5] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).
[6] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).
[7] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).
[8] HR Ibnu Majah (no. 209)
[9] Kitab “Sunan Ibnu Majah” (1/75).
[10] Kitab “Manaasikul hajji wal ‘umrah” (hal. 92).
[11] HR. Al-Hakim dan Abu Hurairah
[12] HR. Abu Daud
[13] Mustafha as-Siba’i dalam DR. H. Said Agil Husain Al-Munawar, M.A. Op Cit. Hal 23
[14] Abu Abdillah Ahmad bin Hambal. Musnad Ahmad bin Hambal, Juz 1. Al-Maktabah Al- Islami. Beriut t.t. Hal. 164.
[15] Ibid. Juz 7. hal 67
[16] DR. H. Said Agil Husain Al-Munawar, M.A. Cop Cit. Hal 24
[17] DR. H. Said Agil Husain Al-Munawar, M.A. Cop Cit. Hal 64.