BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Alfadz dan Dilaalah
Alfadz
ialah jama dari Lafadz yang berarti merata atau umum sedangkan meurut istilah,
lafadz ialah kata yang memberi pengetian umum yang meliputi segala sesuatu yang
terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas. Lafadz terbagi menjadi dua
yaitu Lafadz umum dan Lafadz khusus. Lafadz umum ialah lafadz yang mengikuti pengertian umum lebih
dari satu tanpa terbatas dan disebut dengan sekaligus, seperti lafadz al
insan yang berarti manusia. Dan perkataan ini menjadi contoh yang sangat
jelas yang meliputi pengertian umum, jadi semua jenis manusia masuk dalam
lafadz ini. Sedangkan lafadz khusus ialah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan
pada perseorangan tertentu, seperti laki-laki untuk menunjukan satu jenis. Atau
menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum,
sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-lafadh lain yang
menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan
itu.
Lafadz
juga dapat didefinisikan sebagai pernyataan verbal tentang suatu gagasan.
Lafadz adalah bunyi yang diartikulasikan dan befungsi sebagai simbol atau
tanda gagasan. Lafadz biasanya bersifat konvensional dan dapat dipahami sebagai
sebuah gagasan atau segugus gagasan yang dinyatakan dalam wujud kata-kata. Kita
membentuk gagasan atas dasar pemahaman kita terhadap benda-benmda yang kita
ketahui melalui daya tangkap panca indera. Gagasan ini selanjutnya
direalisasikan dalam wujud kata-kata atau lafadz.
Sedangkan
makna dilaalah ialah pengertian yang dapat diperoleh dari lafadz-lafadz
tersebut.
2.
Pembagian cara peninjauan
Alfadz Dilaalah
Para Fuqoha
membagi cara peninjauan Alfadz dilalah sebagai berikut :
a.
Dilaalah Ibaarah
Dilalah Ibarah ialah Makna yang
dapat di fahami dari lafadz baik lafadz tersebut berupa zahir maupun Nash,
muhkam maupun tidak. Maka, setiap pengertian yang difahami dari keadaan lafadz
yang jelas tersebut disebut Dilaalah Ibaarah, Contohnya seperti :
Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah
perkataan-perkataan dusta. (QS. Al-Hajj : 30)
Secara ekspilisit/Dilalah Ibaarah,
ayat tersebut dapat difahami bahwasannya perkataan zuur/dusta merupakan
perbuatan dosa yang harus dijauhi.
b.
Dilaalah Isyaarah
Dilaalah Isyarah ialah suatu
pengertian yang ditangkap dari suatu lafadz, sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap
suatu ungkapan (ibarat) dan bukan dari ungkapan itu sendiri. Contohnya seperti
firman Alloh ta’aala mengenai Poliogami :
“kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. Annisa:
3)
Ayat tersebut menunjukan bahwa bagi
seorang laki-laki yang yakin tidak dapat mampu berbuat adil maka tidak boleh
baginya untuk beroligami dan ini dipandang dari segi hakikat, bukan dari segi
hukum syara. Dan secara Implisit (Isyarat) dapat dipahami bahwa berbuat adil
kepada istri adalah wajib secara mutlak baik yang berpoligami maupun yang
bermonogami. Dan berbuat aniyaya serta dzolim terhadap istri hukumnya haram.
c.
Dilaalah Nash
Dilaalah Nash dapat disebut juga
Mafhum Muwaafaqoh yaitu pengertian secara implisit tentang suatu hukum lain
yang difahami fari pengertian naash secara eksplisit (Ibaarotun nash) karena adanya faktor penyebab yang sama.
Contoh dilaalah nash terdapat dalam firman Alloh Ta’alaa mengenai kedua orang
tua sebagai berikut :
“Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah"
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS, Al-Isra: 23-24)
Secara eksplisit, ayat tersebut
menjelaskan tentang haramnya mengatakan ucapan “Ah” terhadap orang tua,
logikanya, jika perkataan “Ah” saja diharamkan maka memukul serta mencela orang
tua atau berkata yang dapat menyinggung dan menimbulkan sakit hati orang tua
pun jauh lebih diharamkan, karena itu, larangan berkata “ah” secara tidak
langsung pula melarang segala bentuk ucapan serta perbuatan yang dapat
menyakiti kedua orang tua. Dan kita mengetahui bahwa perkataan “Ah” ialah
pembangkangan yang paling sederhana yang dapat menyakiti orang tua.
Dilaalah ini dapat difahami dari
nash ayat tersebut tanpa memerlukan istinbath.
d.
Dilaalah Iqtidha
Dilaalah Iqtidha ialah penunjukan lafadz terhadap sesuatu, dimana
pengertian lafadz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu tersebut.
Contohnya dalam Firman Alloh sebaga berikut :
“Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang
baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih. (QS. Al-Baqarah: 178)
Ayat tersebut menerangkan bahwa jika
keluarga orang yang dibunuh telah memaafkan, maka hendaklah diikuti dengan
sikap yang baik kepada orang yang diberi maaf. Yakni sebagai konsekueansi logis
dari sikap memaafkan tersebut ialah adanya imbalan harta benda yang diharapkan
oleh orang yang memberi maaf. Oleh karena itu, adanya perintah untuk mengikuti
dengan sikap yang baik dimaksudkan agar orang yang memberi maaf diberi harta
imbalan yang nilainya sama dengan diyat. Karena sikap yang baik dari orang yang
memberi maaf tersebut tidak akan terjadi kecuali jika ia diberi harta imbalan.
Hal ini sesuai dengan Hadits Rasululloh SAW sebagai berikut :
من
قتل له قتيل فله احدى ثلاث
: القصاص او العفو او الدية وان اراد الرابعة فخذوا على يديه
Artinya
: “ Barang siapa yang salah satu keluarganya dibunuh, maka ia diperbolehkan
untuk memilih salah satu dari tiga hal : Qishos, memafkan atau diyat. Dan jika
menghendaki yang keempat, maka janganlah dipenuhi kehendaknya”.
Contoh Dilaalah
Iqtidha pun terdapat dalam hadits masyhur sebagai berikut :
رفع عن امتى الخطاء و النسيان وما استكرهوا عليه فاءن الخطاءاذا وقع
لايرفع وانما المراد الاثم
Artinya:
“Dihapuskan dosa umatku dalam tiga keadaan yaitu: Ketika tidak sadar, lupa dan
dipaksa”.
Dalam hadits diatas, yang dihapuskan
bukanlah Khotonya akan tetapi yang dimaksud ialah dosa yang diperbuat
karena tidak sadar itu.
e.
Mafhum Mukholafah
Mafhum Al-Mukholafah ialah
menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (Manthuq) Disebabkan tidak adanya
suatu batasan (Qayd) yang membatasi berlakunya hukum menurut nashnya. Dengan
demikian, suatu nash dapat menunjukan dua hukum sekaligus yaitu : Hukum yang
ditunjukan oleh bunyi (Manthuq) suatu nash dan hukum yang difahami dari
kebalikan nash tersebut. Jika suatu nash menunjukan suatu hukum halal dengan
adanya batasan, maka nash tersebut juga dapat difahami sebagai nash yang
menunjukan keharaman selama batasannya tidak ada. Contohnya dalam Firman Alloh
berikut :
“Dan
Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman, dari budak-budak yang kamu miliki”. (QS. Annisa : 25)
Bunyi Manthuq ayat tersebut
menunjukan adanya kehalalan bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya
dengan batasan orang tersebut tidak mampu menikah dengan orang merdeka.
Disamping itu, ayat tersebut dapat difahami kebalikan (Mafhum Mukholafah) dari
bunyinya yakni haram bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya jika ia
mampu menikahi seorang wanita merdeka.
Begitupun dalam firman Alloh yang
lain
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”.. (QS. Al-Maidah: 3)
Bunyi
(manthuq) tersebut menjelaskan keharaman binatang sembelihan yang ketika
disembelih dibarengi dengan penyebutan nama selain Alloh seperti berhala,
disamping itu, ayat tersebut juga menerangkan bahwa binatang yang terbebas dari
penyebutan selain Alloh dalam penyembelihannya maka halallah daging tersebut.
Dengan demikian,bunyi suatu nash yang menetapkan suatu hukum yang disertai
adanya Qayd (batasan), jika qayd tersebut hilang maka nash tersebut dapat
menimbulkan pemahaman kebalikan hukum yang ditunjukan oleh bunyi dari nash
tersebut.
3.
Tingkatan Dilaalah
Dilaalah
yang telah dipaparkan diatas merupakan termasuk kedalam kategori dilaalah
manthuq kecuali dilaalah nash, karena dilaalah-dilaalah tersebut berdasarkan
pada pengertian lafadz baik pengertian secara eksplisit (ibarat) maupun
implisit (Isyarat) atau berdasarkan pada kebutuhan lafadz tersebut pada
dilaalah. Dan dilaalah manthuq merupakan kebalikan dari dilaalah mafhum atau
yagndapat difahami.
Dalam
istinbath hukum, dilaalah-dilaalah tersebut memiliki tingkatan-tingkatan,
dilaalah ibarat (eksplisit) merupakan yang paling kuat, sedangkan dilaalah
iqthidha ialah dilaalah yang paling rendah. Ditinjau dari segi kuat dan
lemahnya, ulama madzhab Hanafi membagi kedalam empat bagian yaitu :
a.
Dilaalah
Al-Ibaarah
b.
Dilaalah
Al-Isyarah
c.
Dilaalah
An-Nash
d.
Dilaalah
Al-Iqthidha
Tingkatan-tingkatan
tersebut mempunyai konsekuensi ketika terjadi kontradiksi atau Ta’arudh
antara satu sama lain. Contohnya seperti apabila terjadi pertentangan antara
dilaalah al-ibarah dengan dilaalah al-isyarah maka yang didahulukan ialah
dilaalah al-ibarah, seperti dalam firman Alloh :
كتب
عليكم القصاص فى القتلى
.....
Artinya : “diwajibkan atas kamu
qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh... (QS. Al-Baqoroh: 178)
Dan Firman Alloh SWT :
Artinya: “Dan Barangsiapa yang
membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia
di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab
yang besar baginya. (QS.Annisa: 93)
Bila
dibandingkan dengan kasus pembunuhan secara tidak sengaja, secara implisit ayat
kedua seolah-olah menunjukan bahwa balasan bagi seorang pembunuh yang disengaja
hanyalah siksaan diakhirat semata dan tidak diberikan hukuman qishos didunia.
Tetapi ayat pertama secara eksplisit menjelaskan tentang hukuman qishos bagi
pembunuh. Dan karena itu dilaalah ibarah (eksplisit) dalam ayat pertama
didahulukan dari pada ayat yang kedua. Sehingga orang yang sengaja membunuh
didunia di hukum qishos disamping mendapat siksaan diakhirat.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
1.
Kesimpulan
Alfadz ialah jama dari Lafadz yang
berarti merata atau umum sedangkan meurut istilah, lafadz ialah kata yang
memberi pengetian umum yang meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata
itu dengan tidak terbatas. Lafadz terbagi menjadi dua yaitu Lafadz umum dan
Lafadz khusus.Sedangkan dilaalah ialah pengertian yang terdapat dalam
lafadz-lafadz tersebut.
Alfadz dilaalah terbagi dalam empat
dari segi peninjauan yaitu:
1. Dilaalah Ibarah
2. Dilaalah Isyarah
3. Dilaalah Nash
4. Dilaalah Iqthida
5. Mafhum Mukholafah
2.
Penutup
Demikian penjelasan yang bisa saya
paparkan sedikit banyaknya semoga dapat bermanfaat bagi diri saya pribadi.
Kritik dan sarannya saya harapkan demi perbaikan makalah ini. Mohon maaf jika
masih terdapat banyak kekurangan serta kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Abdul
Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, 1997, Bandung, Gema Risalah Press.
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqih, 2008, jakarta: Pustaka Firdaus.
http://inpasonline.com/new/konsep-makna-menurut-ulama-ushul/ 30-Sept-2014 07.50







0 komentar:
Posting Komentar