Jumat, 10 Oktober 2014

Ushul Fiqh - Alfadz Dilaalah

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Alfadz dan Dilaalah
Alfadz ialah jama dari Lafadz yang berarti merata atau umum sedangkan meurut istilah, lafadz ialah kata yang memberi pengetian umum yang meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas. Lafadz terbagi menjadi dua yaitu Lafadz umum dan Lafadz khusus. Lafadz umum ialah  lafadz yang mengikuti pengertian umum lebih dari satu tanpa terbatas dan disebut dengan sekaligus, seperti lafadz al insan yang berarti manusia. Dan perkataan ini menjadi contoh yang sangat jelas yang meliputi pengertian umum, jadi semua jenis manusia masuk dalam lafadz ini. Sedangkan lafadz khusus ialah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti laki-laki untuk menunjukan satu jenis. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu.
Lafadz juga dapat didefinisikan sebagai pernyataan verbal tentang suatu gagasan. Lafadz  adalah bunyi yang diartikulasikan dan befungsi sebagai simbol atau tanda gagasan. Lafadz biasanya bersifat konvensional dan dapat dipahami sebagai sebuah gagasan atau segugus gagasan yang dinyatakan dalam wujud kata-kata. Kita membentuk gagasan atas dasar pemahaman kita terhadap benda-benmda yang kita ketahui melalui daya tangkap panca indera. Gagasan ini selanjutnya direalisasikan dalam wujud kata-kata atau lafadz.
Sedangkan makna dilaalah ialah pengertian yang dapat diperoleh dari lafadz-lafadz tersebut.


2.       Pembagian cara peninjauan Alfadz Dilaalah
Para Fuqoha membagi cara peninjauan Alfadz dilalah sebagai berikut :
a.      Dilaalah Ibaarah
Dilalah Ibarah ialah Makna yang dapat di fahami dari lafadz baik lafadz tersebut berupa zahir maupun Nash, muhkam maupun tidak. Maka, setiap pengertian yang difahami dari keadaan lafadz yang jelas tersebut disebut Dilaalah Ibaarah, Contohnya seperti :
Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. (QS. Al-Hajj : 30)
Secara ekspilisit/Dilalah Ibaarah, ayat tersebut dapat difahami bahwasannya perkataan zuur/dusta merupakan perbuatan dosa yang harus dijauhi.

b.      Dilaalah Isyaarah
Dilaalah Isyarah ialah suatu pengertian yang ditangkap dari suatu lafadz, sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ungkapan (ibarat) dan bukan dari ungkapan itu sendiri. Contohnya seperti firman Alloh ta’aala mengenai Poliogami :
“kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. Annisa: 3)
Ayat tersebut menunjukan bahwa bagi seorang laki-laki yang yakin tidak dapat mampu berbuat adil maka tidak boleh baginya untuk beroligami dan ini dipandang dari segi hakikat, bukan dari segi hukum syara. Dan secara Implisit (Isyarat) dapat dipahami bahwa berbuat adil kepada istri adalah wajib secara mutlak baik yang berpoligami maupun yang bermonogami. Dan berbuat aniyaya serta dzolim terhadap istri hukumnya haram.

c.       Dilaalah Nash
Dilaalah Nash dapat disebut juga Mafhum Muwaafaqoh yaitu pengertian secara implisit tentang suatu hukum lain yang difahami fari pengertian naash secara eksplisit (Ibaarotun nash)  karena adanya faktor penyebab yang sama. Contoh dilaalah nash terdapat dalam firman Alloh Ta’alaa mengenai kedua orang tua sebagai berikut :
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS, Al-Isra: 23-24)
Secara eksplisit, ayat tersebut menjelaskan tentang haramnya mengatakan ucapan “Ah” terhadap orang tua, logikanya, jika perkataan “Ah” saja diharamkan maka memukul serta mencela orang tua atau berkata yang dapat menyinggung dan menimbulkan sakit hati orang tua pun jauh lebih diharamkan, karena itu, larangan berkata “ah” secara tidak langsung pula melarang segala bentuk ucapan serta perbuatan yang dapat menyakiti kedua orang tua. Dan kita mengetahui bahwa perkataan “Ah” ialah pembangkangan yang paling sederhana yang dapat menyakiti orang tua.
Dilaalah ini dapat difahami dari nash ayat tersebut tanpa memerlukan istinbath.

d.      Dilaalah Iqtidha
Dilaalah Iqtidha ialah penunjukan lafadz terhadap sesuatu, dimana pengertian lafadz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu tersebut. Contohnya dalam Firman Alloh sebaga berikut :
   
“Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. Al-Baqarah: 178)
      Ayat tersebut menerangkan bahwa jika keluarga orang yang dibunuh telah memaafkan, maka hendaklah diikuti dengan sikap yang baik kepada orang yang diberi maaf. Yakni sebagai konsekueansi logis dari sikap memaafkan tersebut ialah adanya imbalan harta benda yang diharapkan oleh orang yang memberi maaf. Oleh karena itu, adanya perintah untuk mengikuti dengan sikap yang baik dimaksudkan agar orang yang memberi maaf diberi harta imbalan yang nilainya sama dengan diyat. Karena sikap yang baik dari orang yang memberi maaf tersebut tidak akan terjadi kecuali jika ia diberi harta imbalan. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasululloh SAW sebagai berikut :
من  قتل له قتيل فله احدى ثلاث : القصاص او العفو او الدية وان اراد الرابعة فخذوا على يديه
     Artinya : “ Barang siapa yang salah satu keluarganya dibunuh, maka ia diperbolehkan untuk memilih salah satu dari tiga hal : Qishos, memafkan atau diyat. Dan jika menghendaki yang keempat, maka janganlah dipenuhi kehendaknya”.
Contoh Dilaalah Iqtidha pun terdapat dalam hadits masyhur sebagai berikut :
رفع عن امتى الخطاء و النسيان وما استكرهوا عليه فاءن الخطاءاذا وقع لايرفع وانما المراد الاثم
Artinya: “Dihapuskan dosa umatku dalam tiga keadaan yaitu: Ketika tidak sadar, lupa dan dipaksa”.
   Dalam hadits diatas, yang dihapuskan bukanlah Khotonya akan tetapi yang dimaksud ialah dosa yang diperbuat karena tidak sadar itu.
e.       Mafhum Mukholafah
Mafhum Al-Mukholafah ialah menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (Manthuq) Disebabkan tidak adanya suatu batasan (Qayd) yang membatasi berlakunya hukum menurut nashnya. Dengan demikian, suatu nash dapat menunjukan dua hukum sekaligus yaitu : Hukum yang ditunjukan oleh bunyi (Manthuq) suatu nash dan hukum yang difahami dari kebalikan nash tersebut. Jika suatu nash menunjukan suatu hukum halal dengan adanya batasan, maka nash tersebut juga dapat difahami sebagai nash yang menunjukan keharaman selama batasannya tidak ada. Contohnya dalam Firman Alloh berikut :
“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki”. (QS. Annisa : 25)
Bunyi Manthuq ayat tersebut menunjukan adanya kehalalan bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batasan orang tersebut tidak mampu menikah dengan orang merdeka. Disamping itu, ayat tersebut dapat difahami kebalikan (Mafhum Mukholafah) dari bunyinya yakni haram bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya jika ia mampu menikahi seorang wanita merdeka.
Begitupun dalam firman Alloh yang lain 
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”.. (QS. Al-Maidah: 3)
Bunyi (manthuq) tersebut menjelaskan keharaman binatang sembelihan yang ketika disembelih dibarengi dengan penyebutan nama selain Alloh seperti berhala, disamping itu, ayat tersebut juga menerangkan bahwa binatang yang terbebas dari penyebutan selain Alloh dalam penyembelihannya maka halallah daging tersebut. Dengan demikian,bunyi suatu nash yang menetapkan suatu hukum yang disertai adanya Qayd (batasan), jika qayd tersebut hilang maka nash tersebut dapat menimbulkan pemahaman kebalikan hukum yang ditunjukan oleh bunyi dari nash tersebut.

3.      Tingkatan Dilaalah
Dilaalah yang telah dipaparkan diatas merupakan termasuk kedalam kategori dilaalah manthuq kecuali dilaalah nash, karena dilaalah-dilaalah tersebut berdasarkan pada pengertian lafadz baik pengertian secara eksplisit (ibarat) maupun implisit (Isyarat) atau berdasarkan pada kebutuhan lafadz tersebut pada dilaalah. Dan dilaalah manthuq merupakan kebalikan dari dilaalah mafhum atau yagndapat difahami.
Dalam istinbath hukum, dilaalah-dilaalah tersebut memiliki tingkatan-tingkatan, dilaalah ibarat (eksplisit) merupakan yang paling kuat, sedangkan dilaalah iqthidha ialah dilaalah yang paling rendah. Ditinjau dari segi kuat dan lemahnya, ulama madzhab Hanafi membagi kedalam empat bagian yaitu :
a.       Dilaalah Al-Ibaarah
b.      Dilaalah Al-Isyarah
c.       Dilaalah An-Nash
d.      Dilaalah Al-Iqthidha
Tingkatan-tingkatan tersebut mempunyai konsekuensi ketika terjadi kontradiksi atau Ta’arudh antara satu sama lain. Contohnya seperti apabila terjadi pertentangan antara dilaalah al-ibarah dengan dilaalah al-isyarah maka yang didahulukan ialah dilaalah al-ibarah, seperti dalam firman Alloh :
كتب  عليكم القصاص فى القتلى .....
Artinya : “diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh... (QS. Al-Baqoroh: 178)
Dan Firman Alloh SWT :  
Artinya: “Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS.Annisa: 93)
                        Bila dibandingkan dengan kasus pembunuhan secara tidak sengaja, secara implisit ayat kedua seolah-olah menunjukan bahwa balasan bagi seorang pembunuh yang disengaja hanyalah siksaan diakhirat semata dan tidak diberikan hukuman qishos didunia. Tetapi ayat pertama secara eksplisit menjelaskan tentang hukuman qishos bagi pembunuh. Dan karena itu dilaalah ibarah (eksplisit) dalam ayat pertama didahulukan dari pada ayat yang kedua. Sehingga orang yang sengaja membunuh didunia di hukum qishos disamping mendapat siksaan diakhirat.

BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

1.      Kesimpulan
Alfadz ialah jama dari Lafadz yang berarti merata atau umum sedangkan meurut istilah, lafadz ialah kata yang memberi pengetian umum yang meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas. Lafadz terbagi menjadi dua yaitu Lafadz umum dan Lafadz khusus.Sedangkan dilaalah ialah pengertian yang terdapat dalam lafadz-lafadz tersebut.
Alfadz dilaalah terbagi dalam empat dari segi peninjauan yaitu:
1. Dilaalah Ibarah
2. Dilaalah Isyarah
3. Dilaalah Nash
4. Dilaalah Iqthida
5. Mafhum Mukholafah
2.      Penutup
Demikian penjelasan yang bisa saya paparkan sedikit banyaknya semoga dapat bermanfaat bagi diri saya pribadi. Kritik dan sarannya saya harapkan demi perbaikan makalah ini. Mohon maaf jika masih terdapat banyak kekurangan serta kesalahan.



DAFTAR PUSTAKA

Prof. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, 1997, Bandung, Gema Risalah Press.
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, 2008, jakarta: Pustaka Firdaus.

0 komentar:

Posting Komentar