A. Pengertian
Sunnah
Sunnah berasal
dari bahas arab yang secara etimologi, lafadz/kata sunnah berarti
“jalan/perjalanan” atau ”jalan kehidupan yang baik “ atau ”jalan kehidupan yang
buruk”. Pengertian sunnah secara etimologis, dapat ditemukan dalam sabda
Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, sebagai
berikut:
“Barangsiapa
yang merintis Sunnah (perjalanan/cara) di dalam Islam suatu perjalanan/cara
yang baik(sunnah hasanah), maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang
yang turut serta mengerjakannya setelah dia tanpa dikurangi dari pahala mereka
yang mengerjakan. Dan barang siapa yang merintis sunnah dalam Islam suatu
sunnah (cara/jalan) yang buruk (sunnah sayyiah), maka akan menerima dosanya dan
dosa orang-orang yang turut melakukan setelah dirinya, tanpa mengurangi sedikitpun
dosa mereka.”[1].
Secara
terminologis (dalam istilah syari’ah) pengertian sunnah sebagai segala sesuatu
yang diperintahkan, dilarang atau di anjurkan oleh Nabi Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, baik berbentuk perkataan, perbuatan, dan
persetujuan. Akan tetapi pengertian sunnah menjadi beragam di kalangan para
pengkaji syari’at, sesuai dengan spesialisasi dan tujuan masing-masing.
B. Nabi
Muhammad Shallallohu
‘alaihi Wa Sallam Sebagai Sumber Sunnah
Sunnah
Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, yang berarti
segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah Shallallohu
‘alaihi Wa Sallam, baik ucapan, perbuatan maupun persetujuan
beliau Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam[2], memiliki
kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Ta’ala sendiri
yang memuji semua perbuatan dan tingkah laku Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, dalam firman-Nya,
“Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung” (QS
al-Qalam:4).
Ayat yang mulia
ini ditafsirkan langsung oleh istri Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, ummul mu’minin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha,
ketika beliau ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an“[3].
Ini berarti
bahwa Rasulullah Shallallohu
‘alaihi Wa Sallam adalah orang yang paling sempurna dalam
memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi
diri dengan adab-adabnya[4].
Demikian pula dalam firman-Nya Ta’ala,
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Ayat yang mulia
ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, karena Allah Ta’ala sendiri yang
menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani
sunnah Rasulullah Shallallohu
‘alaihi Wa Sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal
mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan
rahmat Allah Ta’ala[5].
Ketika
menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan
landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan
beliau Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam “[6].
Kemudian
firman Allah Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang
penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah
Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam dengan
kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat
dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, “Teladan
yang baik (pada diri Rasulullah Shallallohu
‘alaihi Wa Sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah
Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan
(rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan)
iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan
akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah)
Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam “[7].
Karena agung
dan mulianya kedudukan sunnah inilah, sehingga Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam memberikan anjuran khusus bagi orang yang
selalu berusaha mengamalkan sunnah beliau Shallallohu
‘alaihi Wa Sallam, terlebih lagi sunnah yang telah
ditinggalkan kebanyakan orang. Beliau Shallallohu
‘alaihi Wa Sallam bersabda,
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah
dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan
mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan
tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“[8].
Hadits yang
agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah
Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, terlebih lagi
sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena itu, Imam Ibnu
Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibn Majah” pada bab:
(keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam yang telah ditinggalkan (manusia)[9].
Bahkan para ulama menjelaskan bahwa orang yang
menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallohu
‘alaihi Wa Sallam akan mendapatkan dua keutamaan (pahala)
sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan
menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.
Syaikh Muhammad
bih Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan)
mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya)
akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan)
menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia”[10].
C. Kedudukan
dan Fungsi Sunnah
1.
Kedudukan Sunnah
Seluruh umat
islam telah sepakat bahwa sunnah adalah merupakan salah satu sumber ajaran
islam. Ia menempati kedudukannya setelah Al-Qur’an. Keharusan mengikuti sunnah bagi umat islam baik yang berupa perintah atau
larangan sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan
sunnah adalah Mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap Al-Qur’an, oleh
karena itu siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami
dan menguasai sunnah. Begitu pula dalam memahami atau
menggunakan sunnah tanpa Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum
pertama yang di dalamnya berisi garis besar syari’at. Dengan demikian antara
Al-Qur’an dan Sunnah memiliki kaitan yang sangat erat, yang untuk memahami dan
mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
a.
Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-qur’an yang menerangkan tentang
kewajiban untuk tetap teguh beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Iman kepada Rasulullah Shallallohu
‘alaihi Wa Sallam sebagai utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan satu
keharusan dan sekaligus kebutuhan setiap individu. Dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
memperkokoh dan memperbaiki keadaan mereka. Dalam surat Ali Imran ayat 17
diterangkan :
“(yaitu)
orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya
(di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur” (QS. Ali Imran : 17).
Dalam
ayat lain diterangkan pula :
“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun” (Qs.
An-nisa: 136).
Selain Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan
umat Islam agar percaya kepada Rasul Shallallohu
‘alaihi Wa Sallam, juga menyerukan agar mentaati segala bentuk
perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun
larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti dijelaskan dalam surat Ali Imron Ayat
32, yaitu :
“Katakanlah:
“Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali Imron : 32).
Dalam
surat An-Nisa ayat 59 Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman
:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa : 59).
Dalam
surat Al-Hasyr ayat 7 Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman
:
“..Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya” (QS. Al-Hasyr : 7).
Masih banyak ayat lain yang menjelaskan tentang
perintah untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya,
seperti surat Al-Maidah ayat 92 dan An-Nur ayat 54.
Dari
beberapa ayat di atas dapat disimpulkan dan ditarik suatu pemahaman bahwa
ketaatan kepada Rasulullah adalah mutlak sebagaimana ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Begitupula
dengan ancaman dan peringatan bagi yang durhaka. Ancaman Allah sering
disejajarkan dengan ancaman karena durhakan kepada Rasul-Nya.
Disamping ayat-ayat yang menjelaskan ketaatan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan untuk mentaati Rasul secara
Khusus dan terpisah, karena pada dasarnya ketaatan kepada Rasul berarti adalah
ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti yang
disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 80, bahwa manifestasi dari ketaatan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan
mentaati Rasul-Nya.
“Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka” (QS. An-Nisa’ : 80).
Dalam surat Ali Imron ayat 31 juga ditegaskan
bahwa konsekuensi logis dari kecintaan manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan
mentaati rasul-Nya.
“Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS.
Ali Imron : 31).
Ungkapan-ungkapan pada beberapa ayat di atas
menunjukkan betapa pentingnya kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam yang
dimanifestasikan dalam bentuk aqwal, af’al, dan taqrir Rasul Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam.
b.
Dalil Hadits Rasul SAW
Kedudukan sunnah sebagai sumber ajaran agama
islam, selain dapat dilihat dan dikaji berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an,
juga dapat dilihat dan dikaji dengan hadits atau sunnah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam itu sendiri. Banyak hadits yang menggambarkan
hal ini dan menunjukkan perlunya ketaatan pada perintahnya (Rasul). Dalam satu
pesan Rasul Shallallohu
‘alaihi Wa Sallam berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits
atau sunnah rasul sebagai pedoman hidup di samping Qur’an. Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam bersabda sebagai berikut (yang artinya) :
“Aku
tinggalkan dua pusaka kepada kalian. Jika kalian berpegang teguh kepada
keduanya, ciscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah
Rasul-Nya”.[11]
Dalam
hadits lain disebutkan bahwa (yang artinya) :
“Kalian
wajib berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapat
petunjuk berpegang teguh lah kamu sekalian dengannya”.[12]
Dalam salah satu taqrirnya Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam juga memberikan petunjuk kepada umat islam,
bahwa dalam menghadapi berbagai persoalan hukum dan kemasyarakatan, kedua
sumber ajaran yakni Al-Qur’an dan Hadits/ Sunah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam merupakan sumber asasi. Ini terlihat dalam
dialog yang terjadi pada Rasul dan Muadz bin Jabal menjelang keberangkatannya
ke Yaman. Rasul dalam hal ini bertanya kepada Muadz dan membenarkan semua
jawabannya.
Dari beberapa pernyataan di atas juga dapat
ditarik pemahaman bahwa Hadits/ sunnah tetap memiliki peranan yang penting sebagai
sumber hukum agama islam setelah Al-Qur’an yang ditinjau berdasarkan sunnah/
hadits Rasul itu sendiri.
c.
Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat islam dan para ulama telah sepakat bahwa
hadits/ sunnah adalah sebagai salah satu dasar hukum dalam beramal. Penerimaan
mereka terhadap hadits/ sunnah sama seperti penerimaan mereka terhadap
Al-Qur’an sebagai sumber dalam beramal. Namun ada beberapa kalangan dari umat
islam yang menentang bahwasannya hadits/ sunnah adalah sebagai salah satu
sumber dalam beramal. Kalangan tersebut adalah orang-orang yang menyimpang dan
para pembuat kobohongan.
Kesepakatan umat islam dalam mempercayai,
menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits
berlaku sepanjang zaman, sejak Rasulullah masih hidup dan sepeninggalnya, masa
Khulafa Ar-Rasyidin, Tabi’in, Tabi’ut tabi’in, Atba’u tabi’in, serta masa-masa
selanjutnya, dan tidak ada yang mengingkarinya sampai sekarang[13].
Kebanyakan dari mereka tidak hanya mengamalkan isi kandungan hadits/ sunnah,
tetapi mereka juga menghafalnya, mentadwin, dan menyebarluaskan dengan segala
upaya kepada generasi-genarasi selanjutnya. Dengan ini diharapkan bahwa tidak
akan ada satu hadits pun yang tercecer dari pemeliharaannya, begitupula tidak
akan ada satu hadits palsu pun yang mengotorinya.
Banyak kisah diantara para sahabat yang
menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits/ sunnah rasul sebagai sumber
hukum islam, antara lain dikisahkan pada kisah di bawah ini.
Pertama, ketika Abu
Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak meninggalkan
sedikitpun sesuatu yang diamalkan atau dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam, sesungguhnya saya takut tersesat bila
meninggalkan perintahnya”[14].
Kedua, pernah
dinyatakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam
Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus
Nabi Muhammad Shallallohu
‘alaihi Wa Sallam kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu.
Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam berbuat”[15].
Sikap para sahabat tersebut, seutuhnya diwarisi
oleh generasi selanjutnya secara berkesinambungan. Segala apa yang diterima dan
diperoleh dari generasi sebelum-Nya, kemudia diwariskan seutuhnya kepada
generasi berikutnya baik semangat, sikap, maupun aktifitas mereka terhadap
hadits/ sunnah Rasul Shallallohu
‘alaihi Wa Sallam[16]. Dibawah ini
adalah kisah para tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam menyampaikan pesan dan
saran-sarannya kepada umat dan murid yang dibinannya.
Pertama, Al-A ‘masy
berkata “Kalian harus mengikuti as-sunnah dan mengajarkannya kepada anak-anak.
Hal ini karena, pada saatnya nanti merekalah yang akan memelihara agama untuk
kepentingan manusia”.
Kedua, Abu Hanifah
berkata “Jauhilah pendapat ra’yu tentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, kalian
harus berpegang kepada as-sunnah. Barangsiapa yang menyimpang daripadanya,
niscaya dia akan sesat”.
Kisah diatas merupakan kisah yang menunjukkan
sikap dan pandangan para ulama tentang hadits/ sunnah, yang menggambarkan
betapa perhatian dan pandangan mereka yang sangat tinggi terhadap hadits/
sunnah sebagai sumber ajaran agama islam.
2.
Fungsi Sunnah dalam tasyri
Ada empat fungsi Sunnah dalam
tasyri' (ajaran Islam) yakni sebagai berikut :
1.
Hujjah atau dalil agama Islam
yaitu sebagai argumentasi yang bersifat aqliyah di samping Al-Qur’an.
2.
Bayan yaitu yang menjelaskan
kandunggan Al-Qur’an yang masih global dan umum yang belum rinci.
3.
Taqyid, yaitu yang memperkuat
sesuatu yang telah di tetapkan dalam Al-qur’an.
4.
Manhaj, yaitu pedoman Amaliyah
bagi seluruh kaum muslimin.
Empat fungsi ini yang jarang diperhatikan bagi umumnya kaum
muslimin terlebih aturan main dalam menggunakan ke-empat fungsi tersebut. Untuk
bisa mengamalkan 4 fungsi hadits diatas, seseorang mesti mengetahui dan
memahami konsepsi dasar yang berkenaan dengan hadits sekurang-kurangnya berikut
ini :
1.
Mengetahui maksud hadits dalam
tataran praktis
2.
Mengetahui perbedaan hadits
dengan al-Qur'an
3.
Ragam dan istilah yang berkenaan
dengan hadits (musthalahul hadits)
4.
Kualifikasi hadits
5.
Pengamalan hadits
6.
Problematika hadits
D. Kodifikasi
sunnah
Kodifikasi atau
tadwin artinya ialah pencatatan, penulisan atau pembukuan hadits. Secara
individual perncatatan hadits telah dilakukan sejak masa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wa Sallam. Namun dalam pembahasan kali ini, yang
dimaksud dengan kodifikasi adalah penulisan secara resmi berdasarkan perintah
khalifah, dengan melibatkan beberapa anggota yang ahli dalam bidang ini[17]. Bukan
yang dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi.
Kegiatan ini
dimulai pada masa pemerintahan islam ketika dipimpin oleh Khalifah Umar bin
Abdul Azis (Khalifah ke-8 dari kekhalifahan bani Umayyah). Melalui instruksinya
kepada Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazn (Gubernur Madinah) dan para ulama
madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan Hadits dari para penghafalnya.
Khalifah
mengisnstruksikan kepada Abu Bakar Ibn Muhammad bin Hazm (177 H) agar
mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Asy’ari (98
H, murid kepercayaan Siti ‘Aisyah) dan al-Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr (107
H). Instruksi yang sama ditunjukkan kepada Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (124 H)
yang dinilainya orang yang lebih banyak mengetahui hadits dibandingkan orang
yang lainnya. Peranan para ulama dalam mengumpulkan hadits sangat mendapatkan
penghargaan dari seluruh umat islam khususnya Az-Zuhri. Mengingat pentingnya
peranannya, ulama di masanya memberikan komentar bahwa jika tidak ada dia,
diantara hadits-hadits pasti sudah banyak yang hilang. Namun sayangnnya karya
kedua tabi’in ini lenyap tidak sempat diwariskan kepada generasi sekarang.
1.
Latar Belakang Pemikiran Munculnya Usaha Kodifikasi Hadits/ Sunnah
Ada tiga hal pokok yang mendasari Khalifah Umar
bin Abdul Azis mengambil kebijakan ini, yaitu :
a)
Ia khawatir hilangnya hadits-hadits dengan
meninggalnya para ulama di medan perang, hal ini merupakan faktor yang paling
utama mengingat bahwa ulama pada saat itu bukan hanya sebagi pengajar ilmu
agama, namun juga turut mengambil bagian bahkan mengambil bagian penting dalam
peperangan.
b)
Ia khawatir akan tercampurnya antara
hadits-hadits yang shahih dengan hadits-hadits yang palsu.
c)
Bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan
islam, sementara kemampuan para tabi’in antara yang satu dengan yang lainnya
tidak sama jelas memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.
Dengan melihat berbagai permasalahan yang
muncul, sebagai akibat terjadinya pergolakan politik yang sudah cukup lama, dan
mendesakanya kebutuhan untuk mengambil keputusan ini guna menyelamatkan
hadits-hadits dari pemusnahan dan pemalsuan. Umar bin Abdul Azis merupakan
pelopor dalam penulisan-penulisan hadits. Karena, ada beberapa riwayat yang
mengatakan bahwa dia pun ikut andil dalam penulisan hadits ini. Bahkan ia
memiliki tulisan hadits-hadits yang ia terima.
2.
Pembukuan Hadits/ Sunnah Pada Kalangan Tabi’in
dan Tabi’ut Tabi’in Setelah Ibn Syihab az-Zuhri
Diantara para ulama setelah az-Zuhri, ada ulama
ahli hadits yang berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa diwariskan kepada
generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas (93 – 179 H) di Madinah, dengan kitab
hasil karyanya yang dinami Al-Muwaththo. Kitab tersebut selesai disusun pada
tahun 143 H dan para ulama menilainya sebagi kitab tadwin yang pertama.
Dari kenyataan yang terjadi bahwa terdapat
garis perbedaan antara karya-karya ulama sebelum Az-Zuhri dengan karya-karya
ulama setelahnya. Karya ulama setelah Az-Zuhri yang tidak terlepas dari campur
tangan Az-Zuhri sendiri dapat mewariskan karyanya tetap terpelihara sampai
sekarang. Sedangkan karya-karya ulama sebelumnya hanya sampai di tangn
murid-muridnya dan tidak dapat diwariskan ke generasi yang lebih jauh.
E. Pendekatan
Memahami Sunnah
Di antara
kaidah-kaidah penting yang sepantasnya dipelajari oleh seorang muslim agar
pemahaman dan pengambilannya (untuk diamalkan) terhadap Sunnah Rasulullah SAW
dapat benar, adalah sebagai berikut:
1.
Memahami Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur’an
As-Sunnah menerangkan dan merinci apa yang ada
dalam Al-Qur’an. Tidak ada pertentangan antara As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Jika
terdapat pertentangan, hal itu mungkin terjadi karena haditsnya tidak shahih
atau kita sendiri yang tidak bisa memahaminya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menegaskan, “Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisaa’: 82).
Contoh yang paling jelas bahwa sunnah yang
shahih tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, justru yang bertentangan dengan
Al-Qur’an adalah hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu (palsu), yaitu kisah
gharaniq (sembahan atau tuhan-tuhan) kaum musyrikin.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam setelah membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Maka
apakah patut (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-’Uzza dan
Manat yang ketiga…” (An-Najm: 19-20). “Mereka itu adalah gharaniq yang tinggi
dan sungguh syafaatnya (pertolongannya) sangat diharapkan.”
Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka sifatkan
dengan ketinggian-Nya yang agung. Kisah yang bathil ini mustahil akan benar
karena bertentangan dengan ayat itu sendiri (yang disebutkan). Apakah masuk
akal, jika Imam Tauhid dan pembawa bendera agama yang lurus setelah Ibrahim
‘alaihissalam (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) memuji tuhan-tuhan
orang-orang musyrik? Maka, jelas hadits ini bathil sebagaimana yang ditegaskan
oleh Imam Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullah dimana beliau berkata:
“Ini (termasuk hadits) yang dipalsukan oleh orang-orang zindiq.” (Nashbul
Majaaniiq, hlm. 25).
2.
Mengumpulkan Hadits-Hadits yang Satu Tema dan Pembahasan pada Satu Tempat
Imam Ahmad berkata, “Suatu hadits, kalau tidak
engkau kumpulkan jalan-jalannya (sanad-sanadnya), engkau tidak akan paham
karena sebagian hadits menafsirkan sebagian yang lainnya.” (Al-Jaami’ (I/270).
Merupakan suatu keharusan untuk memahami sunnah
dengan pemahaman yang benar, yaitu mengumpulkan hadits-hadits shahih yang satu
pembahasan supaya hadits yang mutasyabih (yang memiliki banyak
penafsiran) bisa dikembalikan ke yang muhkam (maknanya jelas), yang muthlaq
(tidak terikat) di bawa ke yang muqayyad (terikat), dan yang ‘amm
(maknanya umum) ditafsirkan oleh yang khashsh (maknanya khusus). Dengan
cara ini, akan jelas maksud hadits tersebut, maka jangan mempertentangkan
antara hadits yang satu dengan yang lainnya.
Apabila sanad-sanad suatu hadits yang satu
pembahasan tidak dikumpulkan pada suatu tempat, maka itu bisa menyebabkan
terjadinya kesalahan dalam memahami hadits tersebut. Padahal, orang itu
berdalil dengan hadits shahih, akan tetapi dia tidak mengumpulkan hadits yang
semisal dengannya sehingga menyebabkan pemahamannya terhadap hadits tersebut
tidak sempurna. Bahkan, pemahaman dan gambarannya menyimpang tentang masalah
yang dia bahas itu.
Contoh: Hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu
ketika melihat alat pertanian, beliau berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah (alat) ini masuk ke rumah suatu kaum,
kecuali Allah akan memasukkan padanya kehinaan’.” (HR. Bukhari, Fathul Baari,
V/4)).
Zhahir (lahiriah) hadits ini memberikan faedah
tentang bencinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pertanian,
padahal kalau seseorang mengumpulkan hadits-hadits yang lain tentang pertanian,
maka dia akan mendapatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru
menganjurkan untuk bertani dan menerangkan tentang bolehnya bertani, seperti
sabda beliau berikut:
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu burung memakan dari tanaman itu, atau binatang ternak, melainkan yang demikian itu sebagai sedekah (bagi yang menanam).” (HR. Bukhari, Fathul Baari X/438 dan Muslim, VII/4241).
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu burung memakan dari tanaman itu, atau binatang ternak, melainkan yang demikian itu sebagai sedekah (bagi yang menanam).” (HR. Bukhari, Fathul Baari X/438 dan Muslim, VII/4241).
“Jika kiamat telah mendatangi salah seorang di
antara kalian dan di tangannya (masih) ada bibit kurma, maka hendaklah dia
menanamnya.” (HR Ahmad, III/183, 184).
Dari tiga hadits yang telah disebutkan ini ada
satu hadits yang seolah-olah bertentangan, yaitu hadits yang disebutkan
pertama. Lalu, bagaimanakah cara para ulama menyatukan antara hadits-hadits
yang tampaknya bertentangan ini? Bagaimana pula pemahaman yang benar setelah menyatukan
hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini (bertani)?
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Dan
Imam Bukhari telah memberikan isyarat dengan cara menjama’ (menyatukan)
antara hadits Abu Umamah dan hadits sebelumnya tentang keutamaan bertani dan
bercocok tanam, dan itu (dijama’) dengan salah satu dari dua cara, yaitu dengan
membawa apa yang bermakna celaan kepada akibat (buruk) dari pertanian, atau
dibawa kepada pemahaman jika bertani tidak melalaikannya, akan tetapi dia
melampaui batas dalam bertani…” (Fathul Baari, V/5)
Ada hadits yang mendukung pemahaman bahwa
maksud larangan tersebut ditujukan apabila seseorang disibukkan dengan bertani
dari kewajiban-kewajiban, seperti jihad di jalan Allah, apalagi bagi yang dekat
tempatnya dengan musuh-musuh Allah. Hadits tersebut adalah hadits marfu’ dari
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu: “Jika kalian berjual-beli dengan (cara) ‘inah
(salah satu bentuk riba), kalian dilalaikan oleh ternak kalian, dan kalian suka
(disibukkan) dengan bertani sehingga kalian meninggalkan (kewajiban) jihad,
niscaya Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan yang Dia tidak akan
mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (Hadits shahih riwayat
Ahmad, XXII/84 dan Abu Dawud, II/246. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah,
Syaikh al-Albani, I/15 no. 11).
3.
Menyatukan Hadits-Hadits yang Tampak Bertentangan
Pada dasarnya tidak ada pertentangan antara
nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Seandainya terjadi suatu
pertentangan, maka itu anggapan kita semata, bukan hakikat dari nash-nash
tersebut. Inilah keyakinan seorang mukmin pada hadits-hadits yang dapat
dipercaya (hadits-hadits yang shahih atau hasan).
Firman Allah berikut harus selalu menjadi
pedoman: “Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisaa’: 82).
Contoh hadits-hadits yang tampaknya
bertentangan adalah hadits-hadits yang melarang seseorang menghadap ke kiblat
ketika buang air besar atau kecil, sementara ada hadits-hadits lain yang
membolehkan hal tersebut. Cara jama’ yang dipakai para ulama untuk menyatukan
hadits-hadits yang tampak bertentangan tersebut adalah dengan menyatakan bahwa
hadits-hadits larangan dimaksudkan bila dilakukan di tempat terbuka, sedangkan
hadits-hadits yang membolehkan dimaksudkan bila dilakukan di dalam suatu tempat
yang ada pembatasnya (seperti seseorang melakukannya di WC). (Ta-wiil
Mukhtalafil Hadiits hlm. 90 dan Nailul Authaar, I/98).
Kitab yang paling bermanfaat (dan bagus) yang
bisa dijadikan rujukan untuk mendapatkan mukhtalaful hadits (hadits yang
tampaknya bertentangan dengan hadits yang lain tetapi memungkinkan untuk
dijamak/disatukan) adalah Musykilul Aatsaar karya Ath-Thahawi dan Ta’wiil
Mukhtalaf al-Hadiits karya Ibnu Qutaibah.
4.
Mengetahui Nasikh dan Mansukh Suatu Hadits
(Nasikh = Hadits yang Menghapus Hadits yang
Lain; Mansukh = Hadits yang Dihapus)
Nasikh (hukum yang lama diganti hukum yang baru) dalam
hadits memang terjadi. Seorang muslim yang mengamalkan suatu hadits tanpa
mengetahui kalau hadits itu mansukh, berarti dia telah terjatuh ke dalam ilmu
yang tidak diperintahkan syara’ untuk mengamalkannya. Sebab, kita tidak
diperintahkan untuk mengamalkan hadits-hadits yang mansukh. Sementara nasikh
adalah suatu ‘illat (penyebab) dilarangnya beramal dengan satu hadits (yang
mansukh, ed.).
Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah berkata, ”
Dan nasikh telah dimasukkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kategori al-’ilal
(cacat hadits). Namun, beliau hanya mengkhususkannya dalam masalah
pengalamannya saja (bukan status haditsnya).” (Al-Alfiyah, hlm. 22).
Seseorang tidak boleh tergesa-gesa dalam
masalah ini sehingga mengatakan hadits ini mansukh, kecuali setelah mengetahui
dalil-dalil dan qara-in (tanda-tanda) yang menunjukkan adanya nasikh.
Kitab-kitab yang bisa membantu untuk mengetahui
yang mansukh dari hadits-hadits adalah:
- Ittihaaf Dzawiir Rusuukh karya Al-Ju’buri.
- An-Naasikh wal-Mansuukh karya Ibnul Jauzi.
- Al-I’tibaar fin Naasikh wal-Mansuukh minal
Akbaar karya Al-Hazimi.
5.
Mengetahui Asbabul Wuruud Hadits
Asbabul Wuruud = Sebab-Sebab
Diriwayatkanya/Datangnya Suatu Hadits. Mengetahui asbabul wurud suatu hadits sangat
membantu dalam memahami maksud hadits. Termasuk cara yang baik dalam memahami
sunnah Nabi adalah meneliti (melihat) sebab-sebab tertentu disabdakannya suatu
hadits, atau kaitannya dengan ‘illat (alasan atau sebab) tertentu yang
ditegaskan langsung dari nash (teks) hadits itu, atau dari istinbath/kesimpulan
(maknanya), atau yang dipahami (langsung) dari kondisi ketika hadits tersebut diucapkan
(oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Untuk memahami suatu hadits dengan pemahaman
yang benar dan mendalam, tidak boleh tidak, kita harus mengetahui situasi dan
kondisi yang menyebabkan hadits itu diucapkan oleh Nabi. Biasanya, hadits datang
sebagai penjelas terhadap kejadian-kejadian tertentu dan sebagai terapi
terhadap situasi dan kondisi kejadian tersebut. Dengan begitu, maksud dari
hadits itu dapat ditentukan dengan jelas dan rinci. Tujuannya tidak lain agar
hadits itu tidak menjadi sasaran bagi dangkalnya perkiraan, atau kita mengikuti
zhahir (lahiriah dari hadits tersebut) yang tidak dimaksudkan (oleh maknanya).
(Kaifa Nata’aamal ma’as-Sunnah [hlm. 125]).
Contoh:
Hadits: “Barang siapa melakukan sunnah yang
baik dalam agama Islam ….” (HR Muslim).
Sebagian orang memahami hadits ini dengan
pemahaman yang salah. Sehingga, mereka membuat bid’ah-bid’ah (amal yang
diada-adakan dan tidak ada dasarnya) dalam agama dengan beranggapan bahwa
mereka sedang mendekatkan diri kepada Allah dan beramal dengan sunnah yang
baik, yang masuk dalam kandungan makna hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam di atas.
Akan tetapi, kalau kita merujuk kepada sebab
disabdakannya hadits ini, akan kita dapatkan sebabnya, yaitu bahwa Nabi pada
suatu hari menyuruh para sahabat untuk bersedekah. Kemudian, datanglah seorang
pria dengan membawa bungkusan besar yang kedua tangannya hampir tidak mampu
untuk membawanya, lalu ia meletakkannya di tengah masjid. Setelah itu,
orang-orang pun ikut berinfaq sampai muka Rasulullah saw berseri-seri (karena
senang), seakan-akan wajah beliau seperti sesuatu yang disepuh dengan emas,
lalu beliau mengucapkan hadits tersebut.
Maka dari itu, mengartikan hadits tersebut
kepada perbuatan bid’ah jelas-jelas secara meyakinkan bukan yang dimaksud.
Bahkan, itu merupakan kesesatan yang nyata. Dan, sebab-sebab disabdakannya
hadits tersebut menjadi bukti terkuat akan kesalahan cara pengambilan dalil
yang ditempuh oleh mereka.
Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi mempunyai kitab
berjudul Al-Bayaan wa at-Ta’riif fii Ashaab Wuruud al-Hadiits asy-Syariif yang
dicetak dalam tiga jilid. Kitab itu termasuk yang paling lengkap dalam bidang
ilmu ini (asbaabul wuruud hadits).
6.
Mengetahui Ghariibul Hadiits
(Ghariibul Hadiits = Kata-Kata yang
Sulit Dipahami pada Teks Hadits)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
orang yang paling fasih dalam mengucapkan “dhaadd” bahasa Arab dan beliau
berbicara kepada para sahabat dengan bahasa Arab yang jelas dan dikenal oleh
mereka. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam memahami apa yang diinginkan
dari lafazh yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena
mereka adalah orang Arab asli, yang tidak pernah dimasuki (dipengaruhi) oleh
bahasa orang ‘Ajam (orang non-Arab).
Tetapi, dengan berlalunya waktu dan berbaurnya
sebagian orang dengan yang lain, baik yang Arab maupun yang ‘Ajam, bahasa yang
dipakai sebagian besar orang Arab menjadi lemah. Selain itu, bahasa mereka
bercampur dengan bahasa orang ‘Ajam, serta mereka menjadi semakin jauh dari
bahasa Arab yang fasih. Sehingga, banyak orang yang menemukan kesulitan dalam
memahami hadits-hadits Nabi karena mereka tidak mengetahui arti kata-kata dalam
hadits-hadits tersebut.
Oleh sebab itulah, para ulama bangkit menyusun
karangan semacam ini, yaitu kitab-kitab ghaariibul hadiits. Mereka menyusun
sebuah kitab untuk menerangkan kata-kata yang sulit dipahami dalam suatu hadits
beserta penjelasannya. Jika seorang ulama, penuntut ilmu, dan seorang muslim
secara umum ingin memahami hadits yang baik, hendaklah dia merujuk kepada
kitab-kitab ghariibul hadiits, yang paling penting di antaranya adalah:
- Ghariibul Hadiits karya Al-Harawi.
- Ghariibul Hadiits karya Abu Ishaq al-Harbi.
- Ghariib ash-Shahiihain karya Al-Humaidi.
- An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits karya Ibnul
Atsir.
Kitab
yang terakhir (An-Nihaayah) adalah kitab terlengkap dan paling bermanfaat
daripada kitab-kitab ghariib lainnya.
7.
Memahami Sunnah seperti yang Dipahami Sahabat Rasulullah SAW
Kaidah ini termasuk yang paling penting supaya
seorang muslim berpegang dengan sunnah, seperti berpegangnya salafush shaleh,
serta agar selamat dari penambahan dan pengurangan.
Maka, yang paling utama dalam menerangkan
As-Sunnah adalah hadits-hadits Nabi sendiri, kemudian perkataan dan perbuatan
para sahabat (al-aatsaar as-salafiyah), karena para sahabat telah menyaksikan
turunnya Al-Qur’an dan wahyu turun di hadapan mereka. Maka, jika terjadi
pemahaman yang salah dari salah seorang mereka terhadap Sunnah Nabi, niscaya
Jibril akan turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
meluruskan dan mengoreksi pemahaman yang salah itu.
Oleh karena itu, para ulama hadits
menggolongkan perkataan seorang sahabat: “Kami berpendapat begini pada zaman
Rasulullah,” sebagai perkataan yang memiliki hukum marfu’ (yang bisa
disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Apabila
orang-orang berselisih tentang pemahaman suatu hadits, maka pemahaman yang
paling utama didahulukan adalah pemahaman sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Contoh:
Hadits tentang menghadap ke kiblat atau
membelakanginya ketika buang air besar atau kecil. Ada atsar (perkataan
sahabat) dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Sesungguhnya yang demikian itu (buang hajat) terlarang jika di tempat yang terbuka, namun jika di antara kamu dan kiblat ada sesuatu yang menutupi (menghalangi), maka tidak mengapa (hukumnya boleh).” (HR Abu Dawud, Kitab Ath-Thaharah Bab “Karaahiyah Istiqbaali Qiblati ‘inda Qadhaa-il Haajah” [I/3]).
“Sesungguhnya yang demikian itu (buang hajat) terlarang jika di tempat yang terbuka, namun jika di antara kamu dan kiblat ada sesuatu yang menutupi (menghalangi), maka tidak mengapa (hukumnya boleh).” (HR Abu Dawud, Kitab Ath-Thaharah Bab “Karaahiyah Istiqbaali Qiblati ‘inda Qadhaa-il Haajah” [I/3]).
Kitab-kitab yang penyusunnya banyak menukil atsar-atsar
salafiyyah (orang-orang shalih terdahulu) dari sahabat dan tabi’in adalah:
- Mushannaf ‘Abdirrazzaq.
- Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
- Sunan Sa’id bin Manshur.
- Sunan ad-Darimi.
- As-Sunan al-Kubraa dan As-Sughaa karya Imam
Al-Baihaqi.
8.
Merujuk Kitab-Kitab Syarah Hadits
Yaitu kitab-kitab yang berisi penjelasan dan
keterangan dari matan (teks hadits). Termasuk hal-hal yang penting dalam
memahami hadits-hadits Nabi adalah merujuk kitab-kitab syarah. Sebab, di
dalamnya terdapat penjelasan tentang gharib, nasikh-mansukh, fiqhul hadits, dan
riwayat-riwayat yang tampaknya bertentangan sehingga seseorang tidak mungkin
meninggalkan kitab-kitab seperti ini.
Para ulama hadits telah meninggalkan
kitab-kitab syarah untuk kita yang menjelaskan hadits-hadits Nabi saw. Para
ulama adalah penerjemah hadits-hadits Nabi untuk seluruh umat. Setiap seorang
ulama yang lebih dahulu (lebih dekat masa hidupnya dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam) maka penjelasannya akan lebih dekat kepada kebenaran dan
lebih layak untuk diterima, biasanya.
Kitab syarah yang paling utama didahulukan
setelah memperhatikan yang lebih dahulu zaman penyusunnya adalah kitab yang
penyusunnya memiliki perhatian terhadap dalil-dalil dengan menerangkan makhaarijul
ahaadiits (jalan periwayatan hadits) yang bermacam-macam, serta menerangkan
shahih dan dha’ifnya dalil tersebut.
Demikian pula harus didahulukan kitab yang
penyusunnya paling jauh dari fanatik madzhab, yangmana suatu hadits bisa saja
dipalingkan olehnya dari makna yang sesungguhnya yang diinginkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa disertai dalil yang rajih (kuat).
Di antara contoh kitab syarah hadits yang
sesuai dengan pemahaman para sahabat dan mu’tamad (yang bisa dipertanggungjawabkan)
yaitu sebagai berikut.
- Syarhus Sunnah karya Imam Al-Baghawi.
- Fathul Baari karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
- Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani.
[1]
HR. Muslim
[2]
Lihat kitab “Taujiihun nazhar ila ushuulil atsar” (1/40)
[3]
HR Muslim (no. 746).
[4]
Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh shahih
Muslim” (6/26).
[6]
Tafsir Ibnu Katsir (3/626).
[7]
Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).
[8]
HR Ibnu Majah (no. 209)
[9]
Kitab “Sunan Ibnu Majah” (1/75).
[10]
Kitab “Manaasikul hajji wal ‘umrah” (hal. 92).
[11]
HR. Al-Hakim dan Abu Hurairah
[12]
HR. Abu Daud
[13]
Mustafha as-Siba’i dalam DR. H. Said Agil
Husain Al-Munawar, M.A. Op Cit. Hal 23
[14]
Abu Abdillah Ahmad bin Hambal. Musnad Ahmad bin
Hambal, Juz 1. Al-Maktabah Al- Islami. Beriut t.t. Hal. 164.
[15]
Ibid. Juz 7. hal 67
[16]
DR. H. Said Agil Husain Al-Munawar, M.A. Cop
Cit. Hal 24
[17]
DR. H. Said Agil Husain Al-Munawar, M.A. Cop
Cit. Hal 64.








0 komentar:
Posting Komentar