Senyummu kepada Saudaramu adalah Shodaqoh

Berusahalah agar selalu tersenyum, dan berusahalah agar saudaramupun ikut tersenyum dan berbinar

Pengalaman ialah guru terbaik dalam kehidupan

Belajar, belajar, belajar dan teruslah belajar...

Berilmu dulu, kemudian Berbicara

Dan Sampaikanlah meski hanya Satu Ayat.

All Starts Are Difficult

But Let us go to begin

Hindarilah amal yang tak bermanfaat

Ucapanmu, kepribadianmu

Senin, 29 September 2014

Tips recharge Baterai tanpa listrik

Baterai dalam kehidupan sehari-hari memiliki peranan yang lumayan bahkan sangat penting bro, juga merupakan alat yang sangat berguna. Kita menggunakan alat elektronik seperti radio, lampu senter, jam, Gadget dan sebagainya sudah tentu butuh barang yang satu ini. Dan kita tahu sifat baterai tersebut pada suatu saat akan habis energi listriknya. Baterai yang sudah habis energinya, sangat mungkin dibuang langsung oleh penggunanya kecuali sih baterai gadget ya bro,. Padahal sebenarnya baterai tersebut masih bisa untuk dikembalikan lagi energi listriknya walaupun tidak 100%  layaknya ketika membeli baterai yang baru. Untuk menghemat uang dan tenaga anda sebelum membeli baterai baru. Disini akan diberikan tips bagaimana cara agar baterai bisa kembali terisi energi dan bisa digunakan lagi untuk sementara pada alat elektronik. Pun demikian halnya untuk baterai Gadget seperti HP dll jika misalkan padam listrik yang cukup lama, seminggu misalkan. He he. Ikuti langkah berikut dibawah ini:
  1. Siapkan potongan seng bentuk persegi empat, ukurannya bebas. Semakin   lebar semakin bagus. Ini untuk membantu lebih banyak penyerapan panas.   
  2. Siapkan baterai yang ingin diisi ulang, contohnya baterai ABC. 
  3. Harus dalam cuaca yang sedang panas terik. Karena ini (Energi Matahari)     merupakan elemen terpenting sebagai pengganti aliran listrik.  Disarankan     ketika pagi mulai ada cahaya matahari.
  4. Letakkan potongan seng di tempat yang terkena matahari, contoh di halaman depan rumah anda atau di genteng bro biar gak di ganggu ayam sama kucing.Hehe.
  5. Letakkan baterai anda di atas potongan seng tersebut dan pada posisi tengah.
  6. Biarkan baterai dan seng dijemur selama mungkin sampai matahari tidak mengenai benda tersebut, afdolnya sampai sore.
  7. Kemudian ambil baterai yang telah dijemur tadi dan coba pasang baterai tersebut pada alat elektronik.
  8. Maka akan bisa berfungsi kembali baterai tersebut walaupun tidak semaksimal       baterai baru. Demikian tips mudah ini, semoga bermanfaat.


   Salam Djiwa.. 

Kopi Ranting Kering 21 Mei - 23 Mei 2013

Ahahaha, aku rindu ciremai itu, juga mentari pagi saat aku duduk diteras mesjid sekitar pukul 06.00 WIB. Sebentar, aku bernyanyi sedikit,“oh, bawalah aku selalu kelangit biru, tinggalkan aku disini, biarkan aku nikmati belayan mesra mentari, hangatkan jiwaku ini” . lalu kureguk lagi kopi dalam cangkir yang kuaduk dengan ranting  kering kecil langsung kupotek dari pohonnya.

21 mei 2011         Hujan terus mengguyur seluruh kota depok, tapi hujan air ini mana cukup menutup hariku dan membenamkanku dalam ruangan 2x3 meter ini, Oh tidak. Aku pakai mantel supermanku  dan segera melesat.  Sesungguhnya aku pening pagi ini, tetapi aku riang karna gemericik hujan ini selalu meriak menjadi gumpalan memori memori lalu nan selalu tersenyum aku jika menguaknya. Sesampainya di tujuan, jakarta selatan, Perum Dempo, aku tertegun sebentar dengan sedikit kuyup dibagian bawah pakaianku, sambil tak henti kureguk mesra kopi hitam panas ini. Dan aku mulai giat bekerja setelah mandi dan berganti sandang. Dan selanjutnya, sesungguhnya bertambah peninglah kepalaku dan akhirnya mnggigil berhasil memprovokasi raga ini sesaat kemudian.

23 mei 2011
Sesaat setelah aku mandi dan bersalin, kupanaskan terlebih dahulu mesin motorku di beranda kantor kerjaku, setelah sarapan aku bergegas berangkat menapaki jalanan raya simatupang menuju bogor dan meleewati jalur sawangan kemudian parung, sebenarnya aku belum sama sekali mengisi perut ini tapi aku terbiasa sarapan di kampus saja ah. Dan akhirnya telah sampailah setelah peerjalanan 1,5 jam.  

Aku Ingin Selalu Menulis meski tidak selalu dengan Pena Bag I

Kujejaki kaki ini di bagian bumi sebelah barat dari kotaku kuningan, aku berhijrah dengan satu niat yang pada kenyataannya menjadi bercabang dan terbiaskan, semoga Alloh mengampuniku.
Engkau mungkin tahu niat itu, niat seorang pemuda tanggung yang diberikan inayahNya dengan berpikir tajam supaya menuntut ilmu. Ya, ‘menuntut ilmu. Dan memang tidak aku pungkiri atas nukilan firman tentang pengangkatan derajat seseorang yang memiliki uluum (ilmu). Dan juga teringat sebuah wejangan :
“ Pendidikan adalah mata rantai terpenting hidup”.
Alloh memang maha luas, Dia memudahkanku jalan hanya dalam seumur jagung semenjak ku tapaki ‘lagi’ kota hujan ini. Jika mengingat kilas balik saat kucium punggung tangan bapak di bibir pintu rumah, dan seperti kebanyakan seorang anak yang akan merantau  dengan mengatakan “doakan saya”  ada suatu kesan yang sulit ditumpahkan dalam bentuk apapun.
September itu, 2011.  Diawalai kuliah perdanaku dengan meng’update’ status akun ku “back to school” dan dengan semena-mena ingin rasanya mengumbar ke khalayak publik atau setidaknya kepada orang yang mengeenalku bahwa aku “kini seorang mahasiswa”. Naif bukan ?
Tidak semua yang ingin aku tulis tertumpah semua,aku pernah punya teori atas syair :
Al-ilmu Shoydun  # Walkitaabatu Qoyduha.
Qhoyyid Shuyuudaka  # Bihablil mushbali.
........
Ilmu adalah buruan # sedangkan tlisan ialah laso/talinya.
Maka ikatlah buruanmu # dengan ikatan yang kuat.
Yaitu :
Aku ingin selalu menulis # meski tidak selalu dengan tinta/mangsi.
            Bahkan terkadang pun sulit mengejawantahkan pikiran sendiri begitupun kalbu, ada kiranya sebuah nafsu tergilaskan oleh beningnya kalbu serta kilaunya jiwa, pun tak jarang nafsulah yang melumat segalanya.
Adapun hal-hal yang selalu melecutkan asa-asa-ku, aku bersyukur atas itu. Dan aku rasa itu semua selalu me’rangkul’ku dengan erat dalam kondisi apapun, biarkan aku mengabstrakan apa yang ku maksud ini.
Langit sore begitu sumringah, menaungi langkah juntaiku menuju warnet, untuk menunaikan tugas kuliah perdanaku mengenai Tasammuh[1], pelajaran yang tak asing: Tauhid.
Ya, mengenai tasammuh, ialah toleransi dalam beragama, bagaimana menyikapi ketoleransian dalam masyarakat beragama, apakah bisa dalam bertasammuh sampai bablas membantu membawakan lilin kedalam perayaan misa digereja dengan balutan “silaturohim lintas agama”?? Kebablasan yang ironis dalam tatanan toleransi. Sore itu pula tugasku selesai, dan langsung ku print out setelah ku terbitkan terlebih dahulu di akun blog.
Sepagi itu selepas shubuh, aku bergegas mencuci seluruh pakaian kotorku disambung dengan menggosok satu stel pakaian kuliahku. Aku bergegas menaiki Angkot hijau 03 antara Bogor kota – terminal laladon, masih dilanjut bung, naik angkot lagi menuju arah IPB tapi bukan itu almamater ku. Melainkan Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hidayah.   
Dalam angkot menuju pulang, aku pasang headset dan memutar lagu Ebiet G Ade di ponsel sambil bersandar membukakan sedikit jendela angkot tua itu, terbersit aku terpikir dengan mata kuliah yang diampu oleh Ust. Rahendra. STh.I di jam ke-2 tadi, mengenai “Akhlak”. Dan aku telah menggarisbawahi inti materinya, yaitu quote dari seorang imam besar sang mujtahid imam Assyaafi’i :
“Man kaana fii ikhlashi yaquulu ikhlash, fa ikhlaashuhu yahtaaju ilaal ikhlaash”.
(Barang siapa dalam perbuatan ikhlasnya berkata ikhlash, maka keikhlashannya masih membutuhkan ikhlash).
Jadi, jikalau dalam amal baik kita, seumpama infaq dengan harta penting kita untuk kemaslahatan yang besar dan secara terang-terangan kita berkata “Insya Alloh saya ikhlash” maka itu bukan ikhlash. Semoga kita mendapat hidayah yang salah satunya berupa sifat ikhlash, yang hakiki. Oh iya, tadi ketika pemaparan makalah mengenai tauhid, kulihat dosen berdecak kagum pada kelompokku, dan kawan-kawan terkesan puas.
Ah, sefajar ini aku harus mengejar kereta pertama tepat pukul 04.30, kuniatkan untuk sholat shubuh di mushola stasiun saja, semoga tak lari lebih awal dari shubuh ia, lumayan dari tempat kos-ku harus berjalan -+ 1 KM, sebenarnya sudah berseliweran angkot-angkot yang melintas stasiun, tapi hitung-hitung jogging lah.
Jam 04.25 akupun sudah duduk dalam kereta yang berjalan pelan menuju staasiun Ps. Minggu.
Di stasiun tadi, penumpang tak seramai di stasiun ini. Stasiun Cilebut. Keretapun mulai kencang dan penumpang mulai sedikit berdesakan.
Tepat didepanku berdiri seorang perempuan muda. Yaah, kutaksir kira-kira 21 tahunan lah.
“silahkan duduk aja mba.” Aku sambil berdiri.
“Biarin Mas, gak apa-apa”. Jawab si perempuan sambil tersenyum tipis. Ia senyumi lagi sambil menatap dan si perempuanpun akhirnya duduk. ”Makasih mas” dan ia menjawab dengan anggukan. Semakin menuju stasiun-stasiun berikutnya, penumpang juga semakin padat. Sampai akhirnya, saat kereta memperlambat laju untuk pemberhentiaan di stasiun UI (Universitas Indonesia), perempuan itu bergerak bersiap siap hendak turun.
“Stasiun UI mba ?. Aku bertanya dan si perempuan mengangguk sambil berdiri. Lalu kubantu sedikit dengan memperluas jalan menuju pintu keluar. Perlahan kereta berhenti dan si perempuan melenggang lurus keluar. kududuki bangku yang sempat  diduduki tadi.
“Aw hangat”. Gumamku dalam hati. Pukul enam lewat sedikit ia sampai di stasiun Ps. Minggu. Sambil berjalan santai di sepanjang stasiun, aku menoleh-noleh mencari sesuatu yang pas untuk sarapan. Dan lidahku terpincut oleh “Bubur Kacang Ijo”.
Setelah itu, aku masih harus naik kopaja untuk sampai di tempat kerja. ***
Selama delapan jam aku bekerja. Dan aku belum bisa menerangkan apa pekerjaannya. Di akhir jam kerja, atasanku mengirim sms : “Adi, motor kamu kemana ? ko pulang pergi ‘ngeteng’?”. Lalu kubalas : “Sesekali pak, setidaknya di kereta saya bisa sambil tidur”.
Kemudian berbenah dan pulang.
Turun dari kopaja aku menuju loket, membeli tiket lalu menunggu di peron stasiun. 20 menit kemudian, barulah kereta ekonomi muncul. Padahal bukan kereta itu yang aku tunggu, ah masa bodo dan seketika aku melompat menuju gerbong itu. Karena kereta sesak, tak lama langsung berjalan cepat lagi.
Tak ada tempat lagi, akupun melawan angin di pintu kereta, sambil sedikit berdendang mengimbangi para pengamen dalam gerbong.
“OOO.. ya OO.. ya ooo .. Ya bongkar.. 2x”
********







[1] Tasammuh : Tenggang rasa/Toleransi

KAWAN, INI ALBUM KITA







Kawan, kau tahu ?
Saat bersama, saat kau nyanyikan lagu kita,
Saat kita bersalaman layaknya saudara kandung,
Saat kita saling lempar kembali tatapan lugu sewaktu kita bocah,

Saat hangat persaudaraan kembali tampak dalam beberapa cangkir kopi yang kita teguk bergantiaan,
Saat kita bertanyajawab akan hal-hal yang mengakibatkan kita tertawa lepas,
Itu dalah ‘Album’ yang tersimpan dalam rak jiwa sanubari yang tak mungkin lekang oleh sesuatu apapun.

Tapi kini kau tampak dewasa. Sudah tak bisa lama jika bersama.
Mungkin karena pijakan kita yang sedikit berbeda.
Dulu aku mengira, kita adalah beberapa ulat dalam satu kepompong yang akan menggeliat bersama dengan wujud indah, lalu terbang beriringan. Menempuh batas waktu, batas cakrawala. Dan kembali keperaduan saat umur kita senja.
Tapi sudah sepatutnya,

Kita harus mengeram dalam kepompong masing-masing, dan berlomba. Siapa yang akan lebih awal menggeliat.

Aku yakin itu kau kawan.

GEROMBOLAN



Petang, 29 Oktober 1965

Tanggal 23 Juni 1952 ketika negriku di rundung dengan pengkhianatan-pengkhianatan rakyatnya sendiri atas kemerdekaan yang baru saja di raih, aku terlahir di desa terpencil dari kota yang kecil pula. Ibuku bercerita bahwa ketika itu pamanku mengabari kelahiranku pada ayahku melalui surat, karena ayahku berdagang, jauh di tanah Sumatra. Tapi ia tak datang karena jarak yang begitu jauh, hanya suratnya saja yang mewakili kebahagiannya atas kelahiranku. Di surat itu tertulis ‘Zainal Syamsuri,’ sebuah nama yang disematkan padaku dan hingga saat ini pertemuanku dengannya masih bisa dihitung dengan jari.
“Syam, ayo kita ngaji. Ibu sudah menunggu di depan.” Kakakku membuyarkan pikiranku dan menghentikan diaryku. Akupun beranjak dengan semprong di tangan.
Berbalut mukena, ibuku duduk diatas hamparan tikar lusuh beberapa langkah dari tempatku hanya bilik jadi penyekatnya dan bercahayakan rembulan yang menyusup pada celah-celah atap.
“Sudahkan kau shalat, syam?” ibuku bertanya ketika aku menghampirinya. “Sudah bu,” jawabku. Lalu aku dan kak Ningsih memulai membaca Alquran dan ibu mendengarkannya, terkadang membenarkannya.
“Braaakk….” Tiba-tiba kami dikagetkan dengan pintu yang lepas dari tempatnya. Kulihat berkali-kali ibu beristighfar, begitu juga dengan kak Ningsih. Sedangkan aku hanya bisa menahan deram dalam dada.
“Mana hasil panenmu, hah?,” bentak salah seorang dari mereka yang jumlahnya lima orang. Dua orang memegang bedil dan dua orang menggenggam golok.
“Kalian ini manusia atau bukan, sih” teriakku.
“Diam kau bangsat” bentaknya lagi. Kemudian salah seorang dari mereka memukulku dengan gagang bedilnya. Akupun terjatuh ke lantai. Andai aku bias, akan ku lawan mereka, tapi tak mungkin, kami terlalu lemah diantara mereka yang bersenjatakan senapan dan golok. Ditambah badan mereka yang besar dan kekar.
“Maaf kang kami belum panen, mungkin seminggu lagi,” ibuku bergetar mengatakannya.
“Alasan saja kau betina tua.” Lagi-lagi ia membentak dengan berteriak, lalu mereka mulai mengobrak-abrik seisi rumah kami. Tapi mereka tak mndapatkan apa-apa karena memang kami tak memiliki apa-apa.
“Kalau nanti tak ada lagi, gadis ini akan ku bawa,” sambil mengelus dagu kakakku, lalu mereka pergi.
Anak buah si durjana Aidit, itulah mereka pemberontak negeri. Orang-orang menyebut mereka dengan gerombolan karena mereka selalu bergerombol. Pamanku bilang mereka tinggal di hutan.
“Maafkan ibu nak, ibu tak bisa berbuat apa-apa.”
“Sudahlah bu, sebaiknya besok kita ikut bersembunyi saja bersama paman,” kakakku menyahut.
Malam itu mungkin hanya kami yang tetap tinggal di rumah karena biasanya penduduk desa akan meninggalkan rumah mereka pada malam hari untuk bersembunyi karena mereka takut  akan keganasan gerombolan itu.
***

Matahari telah menyingsing. Ibu dan kakak pergi ke ladang dan aku pergi ke sekolah dengan pakaian yang ku pakai tadi malam. Aku tak punya seragam apalagi sepatu.
“Syam.” Dari kejauhan temanku memangil dan menghampiriku.
“Kenapa kau kemarin tidak datang? Padahal kemarin kami mendengar presiden kita berpidato di radio pak guru.” Kata temanku Sobari. Ia kelas 6 SR sama sepertiku, kemarin aku memang tidak datang ke sekolah  karena mencari kayu bakar seharian.
“Yang benar, apa pidatonya?” kataku
“Menggebu-gebu ia berpidato akan secepatnya menumpas gerakan PKI,” katanya.
“Semoga saja.” Katau lagi.
Berkali-kali besi di pukul menandakan belajar-mengajar akan dimulai, dari segala arah murid-murid bersesakan memasuki kelasnya yang berdinding bilik.
Kami belajar kira-kira sampai matahari tepat di atas kepala, setelah itu aku bergegas menuju ladang. Sesampainya di ladang, ibuku berkata:
“Nanti galilah lubang di pojok tempat tidurmu untuk menyimpan ketela-ketela ini. Agar gerombolan itu tak mengambil semuanya lalu kita sisihkan sebagian untuk mereka,” sambil mengumpulkan ketela ke dalam dingkul.
“Bu, aku tak sudi memberikan hasil jerih payah kita pada mereka. Kita saja masih kekurangan” jawabku.
“Syam, ibu hanya bermaksud agar di antara kita tak ada yang celaka.” Kak Nengsih yang dari tadi memetik daun ketela mudapun sesekali berhenti dan menimpali.
Aku tak bisa terima begitu saja jika gerombolan itu mengambil harta kami seenaknya, mengambil keluarga kami dan dijadikannya seperti hewan, bahkan terkadang membunuh sebagian atau seluruh keluarga kami.  “Lebih baik mati demi harga diri dari pada terus-terusan ditindas seperti ini,” aku menimpali dengan perasaan geram.
Sesampainya di rumah aku bergegas menunaikan sembahyang Dzuhur, setelah itu ku tunaikan perintah ibu tadi selagi di kebun.
Hari semakin senja, hatiku tergerak untuk sembahyang Maghrib di surau sekalian tadarus bersama teman, fikirku. Hanya beberapa saat setelah shalat Isya terdengar orang-orang teriak diikuti dengan bunyi kentongan, tanda ada sesuatu yang tidak beres di kampung kami.
“Kebakaran…kebakaran…hutan ada yang membakar.” Seketika itu orang-orang berlari untuk bersembunyi karena mereka sadar bahwa gerombolan sedang menebar teror.
Bergegaslah aku ke rumah sambil berlari.
“Bu…..ibu…kak Nengsih…., dimana kalian…???”
Rumahku kosong. Akupun berlari meuju ladang, mungkin mereka bersembunyi di sana. Tapi cukup lama ku cari ternyata hasilnya nihil. Ibu dan kak Nengsih tidak ada, yang ku temukan hanya Pak Basdar dan keluarganya, mereka tetanggaku yang mencoba bersembunyi pada sebuah lubang yang selalu mereka gunakan saat gerombolan datang.
“Kalian lihat kak Nengsih dan ibuku.”
“Setelah maghrib pamanmu kulihat kerumahmu, lalu ia pergi membawa ibumu dan kakakmu, Nengsih. Sebelumnya mereka mencarimu. Tapi karena gerombolan itu sudah terdengar suaranya, merekapun langsung pergi. Aku tak tahu kemana mereka pergi,” sambil memberikan sebuah lampu senter kepadaku.
“Barangkali ini bisa membantumu, tapi sebaiknya sembunyilah di sini,” tambahnya.
“Terima kasih, paman. Tapi saya harus mencarinya,” timpalku.
“Berhati-hatilah, Syam. Gerombolan itu sangat kejam,” Pak Basdar memendamkan tubuhnya ke dalam lubang persembunyian.
Akupun kembali berlari menyusuri kebun dan semak belukar. Aku tersentk ketika mendengar suara senapan menderu-deru. Ku rebahkan tubuhku di semak belukar, mengatur nafas dan mencoba menelan rasa takut.
Samar-samar aku melihat orang yang memukulku kemarin di kejar oleh seorang berpakaian loreng. Tubuhnya tinggi dan besar. Tangan kanannya memegang senapan dan tangan kirinya memegang lampu senter dan membidiknya dan sesekali melepaskan sebuah tembakan pada anak buah Aidit itu. Dan kini jelas terlihat gerombolan Aidit di kepung oleh orang-orang berseragam loreng.
“Allahu akbar…ganyang PKI…tangkap mereka.” Senapan tak henti-hentinya bersahutan. Terus menderu seperti tak pernah lelah memecah langit malam. Walaupun mereka sudah dikepung, tapi mereka terus melakukan perlawanan dengan juga melepaskan tembakan ke arah seragam loreng. Namun beberapa orang gerombolan kulihat tumbang dan terkapar di atas tanah. Sedikit demi sedikit suara tembakan itu berhenti saat suara adzan Subuh berkumandang kemudian disusul dengan suara takbir dan tahlil yang bersahutan. Ku beranikan bangkit dan berlari terus berusaha mencari ibuku dan kak Nengsih. Langkahku perlahan terhenti karena di depanku tampak mobil besar, tepatnya panser berjejer dipenuhi orang-orang berpakaian hitam, pasti gerombolan D.N. Aidit. Mereka dimasukkan ke dalam mobil seperti seekor ayam dimasukkan ke kandangnya, atau seperti sebuah kaleng yang ditendang-tendang di jalanan. Ya, orang yang berseragam loreng itu pasti ABRI, persis seperti yang dikatakan bu guru di sekolah. Bahwa mereka adalah Tentara Nasional Indonesia dengan seragam loreng, dan dipersenjatai dengan senapan, bertubuh tegap dan besar yang selalu siap menjaga kesatuan NKRI. Sungguh senang hatiku melihatnya.
Aku kembali berjalan sambil melemparkan pandangan ke semua arah. Tak jauh dariku nampak sekumpulan orang sedang mendirikan shalat Subuh di sebuah hamparan tanah luas. Dan walaupun langit masih cukup gelap, tapi aku sangat mengenali sosok orang diantara mereka. Mereka adalah ibuku, kak Nengsih dan pamanku.



Kuningan, 070308