Petang, 29 Oktober 1965
Tanggal 23 Juni 1952 ketika negriku di rundung dengan
pengkhianatan-pengkhianatan rakyatnya sendiri atas kemerdekaan yang baru saja
di raih, aku terlahir di desa terpencil dari kota yang kecil pula. Ibuku
bercerita bahwa ketika itu pamanku mengabari kelahiranku pada ayahku melalui
surat, karena ayahku berdagang, jauh di tanah Sumatra. Tapi ia tak datang
karena jarak yang begitu jauh, hanya suratnya saja yang mewakili kebahagiannya
atas kelahiranku. Di surat
itu tertulis ‘Zainal Syamsuri,’ sebuah nama yang disematkan padaku dan hingga
saat ini pertemuanku dengannya masih bisa dihitung dengan jari.
“Syam, ayo kita ngaji. Ibu sudah menunggu di depan.” Kakakku
membuyarkan pikiranku dan menghentikan diaryku. Akupun beranjak dengan semprong
di tangan.
Berbalut mukena, ibuku duduk diatas hamparan tikar lusuh
beberapa langkah dari tempatku hanya bilik jadi penyekatnya dan bercahayakan
rembulan yang menyusup pada celah-celah atap.
“Sudahkan kau shalat, syam?” ibuku bertanya ketika aku
menghampirinya. “Sudah bu,” jawabku. Lalu aku dan kak Ningsih memulai membaca
Alquran dan ibu mendengarkannya, terkadang membenarkannya.
“Braaakk….” Tiba-tiba kami dikagetkan dengan pintu yang
lepas dari tempatnya. Kulihat berkali-kali ibu beristighfar, begitu juga dengan
kak Ningsih. Sedangkan aku hanya bisa menahan deram dalam dada.
“Mana hasil panenmu, hah?,” bentak salah seorang dari
mereka yang jumlahnya lima
orang. Dua orang memegang bedil dan dua orang menggenggam golok.
“Kalian ini manusia atau bukan, sih” teriakku.
“Diam kau bangsat” bentaknya lagi. Kemudian salah
seorang dari mereka memukulku dengan gagang bedilnya. Akupun terjatuh ke
lantai. Andai aku bias, akan ku lawan mereka, tapi tak mungkin, kami terlalu lemah diantara
mereka yang bersenjatakan senapan dan golok. Ditambah badan mereka yang besar
dan kekar.
“Maaf kang kami belum panen, mungkin seminggu lagi,”
ibuku bergetar mengatakannya.
“Alasan saja kau betina tua.” Lagi-lagi ia membentak
dengan berteriak, lalu mereka mulai mengobrak-abrik seisi rumah kami. Tapi mereka tak mndapatkan
apa-apa karena memang kami tak memiliki apa-apa.
“Kalau nanti tak ada lagi, gadis ini akan ku bawa,”
sambil mengelus dagu kakakku, lalu mereka pergi.
Anak buah si durjana Aidit, itulah mereka pemberontak negeri.
Orang-orang menyebut mereka dengan gerombolan karena mereka selalu bergerombol.
Pamanku bilang mereka tinggal di hutan.
“Maafkan ibu nak, ibu tak bisa berbuat apa-apa.”
“Sudahlah bu, sebaiknya besok kita ikut bersembunyi saja
bersama paman,” kakakku menyahut.
Malam itu mungkin hanya kami yang tetap tinggal di rumah
karena biasanya penduduk desa akan meninggalkan rumah mereka pada malam hari
untuk bersembunyi karena mereka takut
akan keganasan gerombolan itu.
***
Matahari telah menyingsing. Ibu dan kakak pergi ke
ladang dan aku pergi ke sekolah dengan pakaian yang ku pakai tadi malam. Aku
tak punya seragam apalagi sepatu.
“Syam.” Dari kejauhan temanku memangil dan
menghampiriku.
“Kenapa kau kemarin tidak datang? Padahal kemarin kami
mendengar presiden kita berpidato di radio pak guru.” Kata temanku Sobari. Ia
kelas 6 SR sama sepertiku, kemarin aku memang tidak datang ke sekolah karena mencari kayu bakar seharian.
“Yang benar, apa pidatonya?” kataku
“Menggebu-gebu ia berpidato akan secepatnya menumpas
gerakan PKI,” katanya.
“Semoga saja.” Katau lagi.
Berkali-kali besi di pukul menandakan belajar-mengajar
akan dimulai, dari segala arah murid-murid bersesakan memasuki kelasnya yang
berdinding bilik.
Kami belajar kira-kira sampai matahari tepat di atas kepala,
setelah itu aku bergegas menuju ladang. Sesampainya di ladang, ibuku berkata:
“Nanti galilah lubang di pojok tempat tidurmu untuk
menyimpan ketela-ketela ini. Agar gerombolan itu tak mengambil semuanya lalu
kita sisihkan sebagian untuk mereka,” sambil mengumpulkan ketela ke dalam
dingkul.
“Bu, aku tak sudi memberikan hasil jerih payah kita pada
mereka. Kita saja masih kekurangan” jawabku.
“Syam, ibu hanya bermaksud agar di antara kita tak ada
yang celaka.” Kak Nengsih yang dari tadi memetik daun ketela mudapun sesekali
berhenti dan menimpali.
Aku tak bisa terima begitu saja jika gerombolan itu
mengambil harta kami seenaknya, mengambil keluarga kami dan dijadikannya
seperti hewan, bahkan terkadang membunuh sebagian atau seluruh keluarga
kami. “Lebih baik mati demi harga diri
dari pada terus-terusan ditindas seperti ini,” aku menimpali dengan perasaan
geram.
Sesampainya di rumah aku bergegas menunaikan sembahyang Dzuhur,
setelah itu ku tunaikan perintah ibu tadi selagi di kebun.
Hari semakin senja, hatiku tergerak untuk sembahyang
Maghrib di surau sekalian tadarus bersama teman, fikirku. Hanya beberapa saat
setelah shalat Isya terdengar orang-orang teriak diikuti dengan bunyi
kentongan, tanda ada sesuatu yang tidak beres di kampung kami.
“Kebakaran…kebakaran…hutan ada yang membakar.” Seketika
itu orang-orang berlari untuk bersembunyi karena mereka sadar bahwa gerombolan
sedang menebar teror.
Bergegaslah aku ke rumah sambil berlari.
“Bu…..ibu…kak Nengsih…., dimana kalian…???”
Rumahku kosong. Akupun berlari meuju ladang, mungkin
mereka bersembunyi di sana.
Tapi cukup lama ku cari ternyata hasilnya nihil. Ibu dan kak Nengsih tidak ada,
yang ku temukan hanya Pak Basdar dan keluarganya, mereka tetanggaku yang
mencoba bersembunyi pada sebuah lubang yang selalu mereka gunakan saat
gerombolan datang.
“Kalian lihat kak Nengsih dan ibuku.”
“Setelah maghrib pamanmu kulihat kerumahmu, lalu ia
pergi membawa ibumu dan kakakmu, Nengsih. Sebelumnya mereka mencarimu. Tapi
karena gerombolan itu sudah terdengar suaranya, merekapun langsung pergi. Aku
tak tahu kemana mereka pergi,” sambil memberikan sebuah lampu senter kepadaku.
“Barangkali ini bisa membantumu, tapi sebaiknya
sembunyilah di sini,” tambahnya.
“Terima kasih, paman. Tapi saya harus mencarinya,”
timpalku.
“Berhati-hatilah, Syam. Gerombolan itu sangat kejam,”
Pak Basdar memendamkan tubuhnya ke dalam lubang persembunyian.
Akupun kembali berlari menyusuri kebun dan semak
belukar. Aku tersentk ketika mendengar suara senapan menderu-deru. Ku rebahkan tubuhku di semak belukar,
mengatur nafas dan mencoba menelan rasa takut.
Samar-samar aku melihat orang yang memukulku kemarin di
kejar oleh seorang berpakaian loreng. Tubuhnya tinggi dan besar. Tangan
kanannya memegang senapan dan tangan kirinya memegang lampu senter dan membidiknya
dan sesekali melepaskan sebuah tembakan pada anak buah Aidit itu. Dan kini
jelas terlihat gerombolan Aidit di kepung oleh orang-orang berseragam loreng.

“Allahu akbar…ganyang PKI…tangkap mereka.” Senapan tak
henti-hentinya bersahutan. Terus menderu seperti tak pernah lelah memecah
langit malam. Walaupun mereka sudah dikepung, tapi mereka terus melakukan
perlawanan dengan juga melepaskan tembakan ke arah seragam loreng. Namun
beberapa orang gerombolan kulihat tumbang dan terkapar di atas tanah. Sedikit
demi sedikit suara tembakan itu berhenti saat suara adzan Subuh berkumandang
kemudian disusul dengan suara takbir dan tahlil yang bersahutan. Ku beranikan
bangkit dan berlari terus berusaha mencari ibuku dan kak Nengsih. Langkahku
perlahan terhenti karena di depanku tampak mobil besar, tepatnya panser
berjejer dipenuhi orang-orang berpakaian hitam, pasti gerombolan D.N. Aidit.
Mereka dimasukkan ke dalam mobil seperti seekor ayam dimasukkan ke kandangnya,
atau seperti sebuah kaleng yang ditendang-tendang di jalanan. Ya, orang yang
berseragam loreng itu pasti ABRI, persis seperti yang dikatakan bu
guru di sekolah. Bahwa mereka adalah Tentara Nasional Indonesia dengan seragam loreng, dan dipersenjatai
dengan senapan, bertubuh tegap dan besar yang selalu siap menjaga kesatuan
NKRI. Sungguh senang hatiku melihatnya.
Aku kembali berjalan sambil melemparkan pandangan ke
semua arah. Tak jauh dariku nampak sekumpulan orang sedang mendirikan shalat
Subuh di sebuah hamparan tanah luas. Dan walaupun langit masih cukup gelap,
tapi aku sangat mengenali sosok orang diantara mereka. Mereka adalah ibuku, kak
Nengsih dan pamanku.
Kuningan, 070308